Bisnis.com, JAKARTA - Pemerintah akan tetap menaikkan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) pada 1 April 2022. Tarif tersebut akan naik menjadi 11 persen dari 10 persen. Hal tersebut sejalan dengan amanat Undang-undang Nomor 7 tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
Dalam pasal 7 ayat 1, disebutkan bahwa tarif PPN naik menjadi 11 persen pada 1 April 2022 dan akan naik sebesar 12 persen paling lambat pada 1 Januari 2025.
Seperti diberitakan Bisnis sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan kenaikan tarif PPN tidak ditunda lantaran pemerintah akan menggunakannya untuk kembali ke masyarakat. Untuk itu, perlu disiapkan fondasi yaitu melalui penguatan rezim pajak.
Pengamat Kebijakan Publik sekaligus CEO Narasi Institute Achmad Nur Hidayat mengaku tidak setuju dengan rencana kenaikan tarif PPN tersebut, dan menyebutnya sebagai ide buruk. Adapun, dia merinci sejumlah alasan mengapa naiknya tarif 11 persen disebut sebagai ide buruk.
Pertama, Achmad menilai daya beli masyarakat saat ini masih rendah. Hal tersebut menurutnya dapat dilihat dari pertumbuhan konsumsi rumah tangga mash dibawah normal dari pra pandemi Covid-19.
Di 2021, pertumbuhan konsumsi rumah tangga 2,02 persen dan 2,63 persen di 2020.
Baca Juga
"Saat daya beli masih terpukul, seharusnya pemerintah mendukung belanja publik bukan malah mengerem belanja rumah tangga. Menaikan PPN menjadi 11 persen akan mengerem belanja rumah tangga," ujar Achmad dalam keterangan tertulisnya, Kamis (24/3/2022).
Kedua, kenaikan tarif PPN 11 persen pada April 2022 disebut dapat menghambat potensi pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Sebagai informasi, pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi Indonesia di 2022 sebesar 5,2 persen. Target tersebut lebih tinggi dari capaian 2021 yakni 3,69 persen.
Achmad menyampaikan, kenaikan tersebut akan menambah berat target pertumbuhan ekonomi Indonesia yakni 5,2 persen.
Ketiga, PPN Indonesia terendah jika dibandingkan dengan negara-negara G20. Achmad menilai hal tersebut sebagai peluang bagi Indonesia untuk mengundang investor.
Menurutnya, bila Indonesia mau konsisten mengundang investor, maka Indonesia harus berada dalam rezim low-rate tax.
"Musuhnya investor adalah pajak, termasuk PPN dan PPH. Bila pajaknya tinggi, investor enggan berinvestasi di Indonesia. PPN tinggi akan mengurangi volume penjualan sektor bisnis sehingga para pebisnis dan investor tidak menyukai ide tersebut," ujarnya.
Keempat, di 2022, APBN Indonesia mendapatkan windfall tax dari kenaikan harga ekspor sawit dan batubara. Dengan adanya penerimaan negara tersebut, menurut Achmad tidak perlu lagi menaikkan tarif PPN 11 persen.
Bahkan, imbuhnya, pemerintah memiliki ruang untuk menurunkan tax rate lantaran penerimaan negara dari kenaikan harga batubara dan sawit sudah cukup membiayai belanja APBN 2022.