Bisnis.com, JAKARTA — Center for Indonesia Taxation Analysis atau CITA menilai bahwa kenaikan tarif pajak pertambahan nilai atau PPN dapat tetap berlaku karena kondisi ekonomi yang sudah tumbuh, juga merupakan amanat UU HPP.
Manajer Riset CITA Fajry Akbar menjelaskan bahwa menjelang implementasi kenaikan tarif PPN pada 1 April 2022, berkembang pembahasan mengenai perlu tidaknya kebijakan itu berlaku. Sejumlah pihak menilai sebaiknya ada penundaan kenaikan PPN karena harga komoditas yang tinggi dan momentum yang mendekati bulan Ramadan.
Meskipun begitu, Fajry menilai bahwa kenaikan tarif PPN menjadi 11 persen memiliki landasan yang kuat, terutama karena sudah adanya sinyal pemulihan dari indikator ekonomi makro. Dia pun menilai bahwa kenaikan tarif PPN akan memberikan dampak terbatas terhadap masyarakat berpendapatan rendah.
"CITA sebagai lembaga kajian perpajakan memberikan pandangan bahwa penundaan kenaikan tarif PPN sebesar 1 persen pada April 2022 bukan merupakan langkah yang perlu diambil pemerintah," ujar Fajry pada Selasa (15/3/2022).
Dia menjabarkan enam alasan, pertimbangan, dan skenario alternatif atas implementasi kenaikan tarif PPN sebesar 1 persen. Pertama, kenaikan PPN merupakan salah satu instrumen untuk menjaga kesinambungan fiskal dan tarif itu belum pernah bertambah sejak implementasi sistem PPN pada 1984.
Fajry mengutip data Organization of Economic Co-operation and Development (OECD) Revenue Statistic, bahwa 37 negara telah menaikkan tarif PPN dalam satu dekade terakhir. Indonesia tercatat sebagai salah satu negara dengan tarif PPN terendah di dunia, sehingga kenaikan tarif dapat menjadi alternatif.
Baca Juga
Kedua, kenaikan tarif PPN pada April 2022 memiliki pijakan yang kuat, yakni karena ekonomi Indonesia telah pulih ke tingkat prapandemi. Hal itu misalnya terlihat dari indeks PDB riil di atas 100, Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) yang telah kembali ke tingkat prapandemi, dan purchasing manager's index (PMI) yang ekspansif dalam lima bulan terakhir.
Ketiga, Fajry menilai bahwa kenaikan tarif PPN tidak serta merta membebani masyarakat kecil karena sebagian besar konsumsi kelompok itu bukan merupakan barang objek PPN. Artinya, berapapun kenaikan tarif PPN tidak akan membebani konsumen secara langsung.
"Beberapa kebutuhan dasar masyarakat berpendapatan rendah lainnya seperti jasa pendidikan, jasa kesehatan, dan listrik [sampai 6.600 VA] masih mendapatkan fasilitas PPN. Artinya, kenaikan tarif PPN terhadap masyarakat pendapatan rendah secara langsung akan terbatas," kata Fajry.
Keempat, kenaikan harga-harga dapat menjadi alasan utama penundaan tarif PPN, karena terdapat kekhawatiran kenaikan tarif PPN akan mendorong inflasi. Namun, menurut Fajry, sebagian besar komoditas penggerak utama inflasi seperti telur ayam ras, tempe, dan cabai rawit merupakan komoditas yang mendapatkan fasilitas PPN.
Kelima, Fajry meyakini bahwa penundaan kenaikan tarif PPN pada April 2022 bukanlah opsi bagi pemerintah. Kenaikan tarif PPN itu merupakan amanat Undang-Undang Nomor 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) yang sejalan dengan target konsolidasi APBN, yakni deifisit di bawah 3 persen pada 2023.
"Diperlukan sebuah jalan tengah yakni pemerintah tetap menaikan tarif PPN tetapi memberikan kompensasi kepada masyarakat, dapat berupa pemberian fasilitas ditanggung pemerintah [DTP] secara selektif bagi objek tertentu [seperti gula dan/atau minyak goreng] dan pemberian bantuan sosial langsung dalam jangka waktu tertentu ke kelompok yang paling rawan terdampak," katanya.
Keenam, terdapat mekanisme reduced rate yang lebih tepat sasaran daripada menunda kenaikan PPN. Menurut Fajry, negara-negara seperti Amerika serikat, Belgia, Brazil, Italia, Spanyol, Turki, dan Vietnam menggunakan mekanisme pengurangan tarif PPN bagi komoditas tertentu, seperti listrik dan BBM untuk mencegah kenaikan harga.
"Mekanisme ini lebih tepat sasaran dibandingkan menunda kenaikan tarif PPN secara umum. Skema reduced rate sendiri gagal masuk ke dalam UU HPP," ujar Fajry.
CITA berpandangan bahwa pemerintah perlu memberikan fasilitas PPN DTP terhadap beberapa barang/jasa tertentu yang dibutuhkan rakyat banyak untuk mengurangi dampak kenaikan tarif bagi masyarakat. Lalu, pemerintah perlu memperkuat jaring pengaman sosial.
"Dengan skema ini, barang yang mendapat fasilitas tetap terutang PPN, tetapi PPN terutang dibayar pemerintah dengan pagu anggaran. Namun, pemerintah harus memastikan bahwa pemberian fasilitas PPN DTP benar-benar dinikmati oleh konsumen, yakni masyarakat," ujar Fajry.