Bisnis.com, JAKARTA – Gejolak harga sejumlah komoditas pangan yang terjadi hampir bersamaan belakangan ini, mengingatkan kembali akan ketahanan pangan kita yang rapuh karena tergantung impor.
Klaim soal swasembada pangan yang kerap digembor-gemborkan Kementerian Pertanian pun dipertanyakan sejumlah pihak.
Anggota Komisi IV DPR RI Firman Subagyo mengatakan parlemen sejatinya sudah jauh-jauh hari mengingatkan pemerintah, khususnya Kementan soal pentingnya produksi pangan untuk ketahanan pangan nasional. Bahkan, sebelum datangnya pandemi dan konflik Rusia-Ukraina yang membuat harga komoditas pangan terdongkrak.
“Ini kan selalu menjadi satu kontroversi. Kalau kita mengatakan produksi pangan kita baik kenapa Indonesia mesti mengimpor. Ini yang harus dievaluasi. Jangan kita bilang surplus, tetapi barangnya tidak ada. Kalau memang ada surplus, barangnya ada dimana? Ayo kita cek dan lihat secara bersama-sama. Kita tidak cukup hanya dengan statement,” tegasnya dalam keterangan pers, Senin (7/3/2022).
Melihat hal ini, ia pun mempertanyakan kinerja Kementan yang seharusnya fokus mengamankan produksi pangan.
“Kalau kita tidak menyiapkan diri sebaik-baiknya, maka akan muncul dua krisis besar di dunia ini yaitu krisis energi dan juga krisis pangan," ujarnya.
Ia melihat, produksi pangan Indonesia belum bisa diharapkan. Menurutnya, untuk mencapai swasembada pengan memang bukan perkara mudah. Akan tetapi, Indonesia harus mempersiapkan dengan maksimal.
Langkah yang seharusnya dilakukan pemerintah, kata Firman, adalah menginventarisasi seluruh lahan yang memungkinkan untuk digunakan sebagai lahan produksi pangan.
“Ukurannya sangat sederhana. Kalau 2019 yang lalu, anggaran (Kementan) kan sekitar Rp6 triliun, sekarang sudah puluhan triliun. Dengan anggaran puluhan triliun itu sangat mudah mengukurnya. Kementan itu output-nya produksi pangan, kalau sampai sekarang itu kita masih impor, berarti itu kegagalan, ada miss management,” tuturnya.
Polisi Partai Golkar ini merujuk pernyataan PBB yang sempat merilis soal pentingnya mengantisipasi kebutuhan pangan, sejalan dengan pertumbuhan jumlah penduduk yang terus meningkat signifikan. Negara dengan jumlah penduduk yang besar seperti Indonesia pun diminta bersiap karena diyakini akan lebih merasakan dampaknya.
“Kita tidak boleh bergantung pada negara lain karena impor,” ucapnya.
Senada, Guru Besar Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB) Dwi Andreas menuturkan, gejolak kenaikan harga sejumla komoditas yang terjadi belakangan, lebih banyak terjadi akibat faktor dari perdagangan komoditas secara global. Kenaikan harga makin terasa mengingat untuk komoditas pangan, Indonesia sangat mengandalkan pasokan impor.
“Gandum, bawang putih hampir 100% impor, kedelai 97% impor, gula 70% impor, daging lebih dari 50% impor. Ketika harga dunia naik setelah pandemi, pasti kita akan kena imbas,” ucap Ketua Asosiasi Bank Benih Tani Indonesia (AB2TI) tersebut.
Kerentanan akan ketahanan pangan makin membesar, kata Dwi, dengan sejumlah peristiwa yang tak terprediksi dan di luar kemampuan pemerintah untuk mengontrolnya.
Ia mencontohkan hal ini terjadi pada komoditas kedelai yang harganya tetiba melonjak karena turunnya produksi dunia. Dengan kurangnya produksi, tak hanya harga kedelai yang naik, harga minyak nabati lainnya, seperti minyak sawit, pun ikut terkerek naik.
Idealnya, kata Dwi, kebutuhan pangan dalam negeri bisa dipenuhi oleh petani dalam negeri. Namun, lanjutnya, hal ini sangat sulit terjadi karena tingginya disparitas harga pangan produsi dalam negeri dengan produk impor.