Bisnis.com, JAKARTA – Setelah sempat dilarang, pemerintah mulai membuka keran ekspor batu bara bagi perusahaan yang memenuhi kewajiban pemenuhan batu bara bagi kepentingan dalam negeri atau domestic market obligation (DMO) pada pertengahan Januari 2022.
Selain kebijakan baru pemerintah, terdapat faktor lain yang mempengaruhi ekspor batu bara Indonesia, yaitu, memanasnya iklim geopolitik 'Negeri Beruang Merah,' Rusia dengan Ukraina. Ancaman konflik kedua negara itu semakin bertambah parah, Amerika Serikat dan negara-negara Eropa sekutunya menegaskan kembali janjinya untuk mempertahankan setiap jengkal wilayah NATO.
Rusia memiliki peranan besar besar dalam rantai pasokan sejumlah komoditas penting di Eropa, mulai dari gas alam, gandum, nikel, hingga batu bara. Negara Beruang Merah merupakan pemasok gas terbesar di Benua Biru. Jika invasi Rusia ke Ukraina terjadi, aliran pipa gas terhenti, tentu akan menjadi bencana.
Ketika harga gas meningkat, maka perusahaan di Eropa cenderung beralih ke batu bara, di tengah usaha mereka menggencarkan pemakaian energi baru terbarukan (EBT). Sebelumnya, sejumlah perusahaan di Eropa mulai meningkatkan impor batu bara mereka.
Berdasarkan data impor, pengangkutan batu bara ke Eropa naik 55,8 persen pada Januari dibandingkan tahun lalu, menjadi 10,8 juta ton. Dari angka tersebut Rusia memasok 43,2 persen batu bara, sementara Australia menyediakan 19,1 persen, sebagaimana dirangkum dalam analisa Braemar ACM dari data logistik perkapalan, dilansir CNBC, Senin (14/02/2022).
Keadaan ini diperkuat oleh musim dingin yang masih berlangsung di negara-negara Eropa. Selama musim dingin, terjadi peningkatan konsumsi energi. Selain kebutuhan listrik harian, energi listrik juga dibutuhkan untuk pemanas ruangan. Peningkatan kebutuhan ini tidak didukung oleh produksi yang memadai.
Baca Juga
Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia mengatakan bahwa Indonesia akan mendapat keuntungan.
“Sektor energi, terlebih migas dan batubara akan menguntungkan Indonesia. Rusia merupakan pengekspor gas utama ke Uni Eropa. Jika konflik bereskalasi hingga Rusia dijatuhi sanksi, otomatis kebutuhan ini akan ditutup dari sumber lain. Indonesia bisa diuntungkan,” ujar Hendra saat dihubungi Bisnis, Selasa (15/02/2022).
Selain itu, salah pendorong naiknya harga batubara sejak tahun lalu adalah terhambatnya ekspor batubara dari Australia ke Tiongkok.
“Salah satu sentimen positif yang mendorong harga menguat sejak tahun lalu antara lain karena masih terhambatnya ekspor dari Australia ke Tiongkok. Hal ini tentu menguntungkan bagi eksportir Indonesia,” imbuh Hendra.
Seperti diketahui, harga batu bara terus mengalami kenaikan seiring dengan tingginya permintaan emas hitam tersebut secara global. Berdasarkan data terbaru, Selasa (15/02/2022), batu bara diperdagangkan pada level US$240 per metrik ton.
Meskipun konflik Rusia dan Ukraina membawa angin segar bagi ekspor batubara nasional, peta tujuan ekspor batu bara Indonesia secara garis besar tidak mengalami perubahan.
“Kalau pasar ekspor kita hampir tidak ada perubahan. Negara-negara tujuan ekspor batu bara Indonesia adalah negara negara Asean, Tiongkok, India, Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan. 98 Persen ekspor batubara kita adalah ke wilayah Asia Pasifik,” papar Hendra.
Ia juga menerangkan bahwa seluruh kegiatan ekspor batubara nasional telah terjadwal.
“Seluruh ekspor batubara telah terjadwal. Sebagian ekspor adalah kontrak jangka panjang, sementara itu sebagian yang lain ada yang melalui spot cargo,” tambahnya.
Kenaikan harga minyak dunia yang saat ini menyentuh angka US$ 94,77 untuk minyak jenis WTI dan US$ 95.85 untuk minyak jenis Brent, turut mempengaruhi biaya operasional tambang batubara.
“Tentu kenaikan harga minyak meningkatkan biaya operasional pertambangan batubara. Karena komponen bahan bakar cukup besar kontribusinya. Tetapi tidak akan berdampak besar pada kinerja ekspor komoditas batubara dalam jangka pendek, selama demand masih tinggi, ini peluang yang bagus,” tutupnya.