Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Mencari Titik Keseimbangan Defisit Fiskal dan Pemulihan Ekonomi

Dengan tren positif yang ada, pemerintah meyakini tak perlu ada perubahan batas waktu konsolidasi fiskal terkait target defisit APBN di bawah 3 persen per 2024.
Menteri Keuangan Sri Mulyani melakukan kunjungan kerja serta pemantauan terhadap proses kelancaran pencairan anggaran belanja APBN 2021 di Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN) Jakarta VII/Antara
Menteri Keuangan Sri Mulyani melakukan kunjungan kerja serta pemantauan terhadap proses kelancaran pencairan anggaran belanja APBN 2021 di Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN) Jakarta VII/Antara

Bisnis.com, JAKARTA — Kewajiban konsolidasi fiskal dengan defisit APBN di bawah 3 persen per 2024 tidak boleh menjadi penghambat momentum pertumbuhan ekonomi. Dengan tren positif yang ada, pemerintah meyakini tak perlu ada perubahan batas waktu konsolidasi fiskal.

Hal tersebut disampaikan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sebagai respons atas pembahasan batas waktu defisit anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). Undang-Undang 2/2020 hanya mengizinkan defisit APBN di atas 3 persen hingga 2023.

Pelebaran defisit APBN memungkinkan negara menambah instrumen pembiayaan atau utang agar memiliki sumber dana untuk penanganan pandemi dan mendorong pemulihan ekonomi. Salah satu langkah yang ditempuh adalah burden sharing pemerintah dan Bank Indonesia.

Sri Mulyani menilai bahwa kebijakan fiskal, seperti UU 2/2020, merupakan instrumen untuk menjaga stabilitas perekonomian dan bukan semata-mata sebagaj tujuan. Oleh karena itu, pemerintah perlu fokus memanfaatkan alat tersebut untuk menjaga kondisi dan pertumbuhan ekonomi.

"Jika kita ingin dapat menavigasi dengan cara yang baik, terukur, dan berhati-hati, kita seharusnya bisa mencapai pertumbuhan ekonomi. Tidak bisa pertumbuhan ekonomi dikorbankan karena kita akan melakukan konsolidasi fiskal," ujar Sri Mulyani dalam gelaran Mandiri Investment Forum 2022, Rabu (9/2/2022).

Dia menyatakan bahwa konsolidasi fiskal penting untuk meningkatkan kesehatan APBN setelah 'babak belur' oleh Covid-19. Sebagai instrumen fiskal, APBN harus selalu siaga menghadapi berbagai risiko, termasuk yang memiliki skala sebesar pandemi Covid-19.

Kembalinya defisit APBN ke bawah 3 persen menjadi salah satu indikator kesiap-siagaan APBN terhadap risiko. Oleh karena itu, terdapat waktu tiga tahun sejak 2020 bagi pemerintah untuk memperlebar defisit demi penanganan pandemi Covid-19.

"Instrumen fiskal ini ingin mewujudkan tujuan tidak ada yang tertinggal, memastikan mereka yang termiskin dan daerah terluar tidak tertinggal. Instrumen ini mewujudkan efisiensi alokasi, meminimalkan distorsi agar perekonomian bisa tumbuh dengan cara yang lebih sehat, kompetitif, produktif, dan keberlanjutan," ujar Sri Mulyani.

Pada 2022, pemerintah menargetkan defisit APBN di 4,85 persen. Namun, realisasi defisit APBN 2021 yang mencapai 4,65 persen—lebih baik dari target 2022—membuat Sri Mulyani optimistis defisit tahun ini dapat mencapai 4 persen.

"Dengan capaian penerimaan dan disiplin dalam belanja, kami percaya diri bahwa defisit akan lebih rendah. Kami perkirakan defisit APBN 2022 akan dekat ke 4 persen," ujarnya.

Adanya momentum pemulihan ekonomi membuat dunia usaha di berbagai sektor dapat bergerak lebih luwes, sehingga dukungan APBN dapat berkurang secara bertahap. Hal tersebut membuat Sri Mulyani yakin konsolidasi fiskal dapat berjalan tanpa mengorbankan pertumbuhan ekonomi.

"Jika ada shock muncul APBN ini harus relatif sehat kembali, dengan demikian anggaran atau fiskal tidak menjadi sumber permasalahan tetapi menjadi solusi. Ini merupakan disiplin yang harus dilakukan," ujar Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia tersebut.

Sebelumnya, dalam sebuah sesi diskusi, anggota Komisi XI DPR Mukhamad Misbakhun membahas soal perlunya peninjauan terhadap tenggat waktu defisit APBN dalam UU 2/2020. Kebijakan itu menurutnya perlu mempertimbangkan kondisi ekonomi terkini.

"Defisit ini hanya satu bagian, kita lihat negara ini kan dikelola berdasarkan kesepakatan, kalau kemudian kita mengubah [batas waktu defisit APBN di atas] 3 persen, tetapi manfaatnya lebih banyak, kenapa tidak kita bikin permufakatan baru," ujar Misbakhun pada Selasa (8/2/2022).

Ekonom senior dan Direktur Riset Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Piter Abdullah Redjalam, yang turut hadir dalam diskusi tersebut, menjelaskan bahwa pembahasan batas waktu konsolidasi fiskal merupakan respons atas pernyataan Sri Mulyani terkait pandemi Covid-19.

Menurut Piter, Sri Mulyani sempat menyebut bahwa 2023 merupakan tahun yang kritis karena Indonesia harus kembali ke disiplin fiskal dengan defisit maksimal 3 persen. Piter dan Misbakhun tidak setuju dengan istilah kritis itu karena defisit APBN bukan suatu harga mati.

"Kita kembali ke disiplin fiskal tersebut jika memang kondisinya sudah normal, jika pandemi sudah berakhir pada 2022 sehingga penerimaan pemerintah pada 2023 juga sudah normal dan mampu menutup kebutuhan belanja pemerintah," ujar Piter kepada Bisnis, Rabu (9/2/2022).

Menurutnya, kondisinya akan berbeda jika pandemi masih terjadi pada 2023 sehingga penerimaan tidak maksimal dan pemerintah masih harus mengeluarkan berbagai bantuan. Jika itu terjadi, menurut Piter, defisit APBN tidak mungkin kembali ke bawah 3 persen pada 2024.

Peninjauan batas waktu tersebut perlu dilakukan jika skenario yang tidak diinginkan itu terjadi. Pemerintah dan DPR, serta pemerintah dan Bank Indonesia dapat membuat kesepakatan baru untuk dapat mengatasi pandemi dengan efektif sembari menjaga pertumbuhan ekonomi.

"Intinya, pada 2023 kondisinya belum pasti dan pemerintah tidak perlu panik karena kesepakatan baru sangat mungkin dibuat dengan tujuan untuk kebajikan rakyat banyak. Kalau pandemi sudah reda, ekonomi sudah normal, ya ngapain juga memperpanjang ketentuan [defisit APBN] melewati 3 persen itu," ujar Piter.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper