Bisnis.com, JAKARTA — DPR dan pemerintah resmi menyepakati postur makro fiskal dalam Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Negara atau RAPBN 2026. Salah satu poin kesepakatan adalah kenaikan target penerimaan perpajakan.
Kesepakatan itu disampaikan oleh Wakil Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR Jazilul Fawaid ketika membacakan laporan hasil pembahasan pendahuluan RAPBN 2026 dan rapat kerja pemerintah (RKP) 2026 dalam rapat paripurna DPR, Kamis (24/7/2025).
Jazilul menjelaskan bahwa awalnya dalam Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF) 2026, pemerintah mengusulkan target penerimaan perpajakan sebesar 10,08%—10,45% dari produk domestik bruto (PDB).
Kendati demikian, dalam pembahasan antara pemerintah dengan Banggar, disepakati adanya kenaikan rentang target penerimaan perpajakan pada tahun depan yaitu menjadi 10,08%—10,54% dari PDB.
Jazilul mengungkapkan bahwa Banggar dan pemerintah telah menyepakati empat arah kebijakan perpajakan pada tahun depan. Pertama, perluasan basis perpajakan melalui intensifikasi dan ekstensifikasi untuk mendukung fiskal yang kuat, peningkatan ekonomi, dan pelindungan masyarakat.
"Kedua, peningkatan kepatuhan melalui pengawasan berbasis teknologi informasi, memperkuat sinergi dan program bersama, serta penegakan hukum untuk mendukung perbaikan sistem administrasi dan organisasi perpajakan," ujar Jazilul dalam rapat paripurna.
Baca Juga
Ketiga, penguatan keberlanjutan reformasi perpajakan dan harmonisasi kebijakan perpajakan internasional untuk mendorong peningkatan penerimaan dan rasio perpajakan.
Keempat, pengelolaan pemberian insentif perpajakannya semakin terarah dan terukur untuk mengakselerasi investasi serta hilirisasi industri yang menciptakan nilai tambah yang tinggi.
"Pemerintah akan menempuh berbagai langkah, upaya kebijakan, dan program untuk meningkatkan pendapatan negara yang mencapai kisaran 11,71% hingga 12,31% dari PDB," jelas Jazilul.
Sementara itu, Direktur Jenderal Strategi Ekonomi dan Fiskal Kementerian Keuangan Febrio Nathan Kacaribu menjelaskan pemerintah menyetujui kenaikan target pajak itu karena searah dengan niat untuk memperbaiki penerimaan negara.
"Itu bagian dari reformasi penerimaan," ujar Febrio usai rapat paripurna di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta Pusat, Kamis (24/7/2025).
Dia mengaku pemerintah ingin mendorong agar semua sektor ikut berkontribusi untuk meningkatkan penerimaan perpajakan tersebut. Kendati demikian, Febrio menjelaskan bahwa secara historis sektor-sektor yang berkontribusi besar kepada penerimaan negara juga menyumbang banyak penerimaan pajak.
"Nah itu biasanya beberapa sektor seperti manufaktur, itu kontribusinya masih besar. Jadi kita lihat nanti," katanya.
Outlook APBN 2025: Target Tak Tercapai, Ada Shortfall Pajak
Menariknya, optimisme kenaikan target penerimaan perpajakan pada tahun depan itu tidak sejalan dengan kenyataan pada tahun ini.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengumumkan outlook penerimaan pajak hanya mencapai Rp2.076,9 triliun pada 2025. Angka tersebut lebih rendah dari target penerimaan pajak dalam APBN 2025 sebesar Rp2.189,3 triliun.
Outlook tersebut Sri Mulyani sampaikan dalam rapat kerja dengan Badan Anggaran DPR di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta Pusat pada Selasa (1/7/2025).
"Kalau kita lihat dari penerimaan pajak akan mencapai Rp2.076,9 atau dalam hal ini 94,9% dari target APBN," ungkap Sri Mulyani.
Proyeksi penerimaan pajak yang lebih rendah dari target itu menunjukkan adanya kemungkinan terjadi shortfall pajak senilai Rp112,4 triliun.
Bendahara negara tersebut menyampaikan bahwa target penerimaan pajak tidak tercapai karena adanya perubahan kebijakan seperti tidak jadinya implementasi kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% pada tahun ini.
Selain itu, sambungnya, ada tekanan dari faktor eksternal seperti harga komoditas-komoditas unggulan mengalami pelemahan sehingga berdampak ke penerimaan pajak.