Bisnis.com, JAKARTA – PT PLN (Persero) menghadapi dilema terkait masih tingginya harga energi baru terbarukan (EBT) di tengah target bauran energi bersih pemerintah yang dipatok 23 persen pada 2025.
Direktur Perencanaan Korporat PLN Evy Haryadi mengatakan bahwa dalam rencana usaha penyediaan tenaga listrik (RUPTL) PLN 2021–2030 telah ditetapkan kebutuhan pembangkit listrik tenaga EBT base load sebesar 1,1 gigawatt (GW).
Pembangkit listrik tenaga EBT base load tersebut merupakan pembangkit listrik energi terbarukan yang mampu menggantikan pembangkit fosil dengan biaya pokok produksi (BPP) lebih murah, dan dapat beroperasi selama 24 jam.
Apabila pemerintah menggunakan pembangkit intermiten, seperti pembangkit listrik tenaga surya (PLTS), maka diperlukan Battery Energy Storage System (BESS) untuk memastikan daya listrik terus mengalir selama 24 jam.
“Tantangannya bagaimana kita bisa mengganti energi fosil seharga US$6 sen–US$8 sen per kWh dengan energi PLTS + BESS sekitar US$18 sen –US$21 sen per kWh,” katanya saat webinar, Senin (7/2/2022).
Dari harga tersebut, artinya masih terjadi selisih harga sekitar US$12 sen–US$13 sen per kWh. Bila 1,1 GW pembangkit listrik tenaga EBT base load menghasilkan 7,7 terawatt hour, maka selisih harga tersebut bisa mencapai Rp13 triliun. Angka itu didapat dari perhitungan 7,7 TWh x US$12 sen/kWh x Rp14.500.
Baca Juga
Sebab itu, kata Evy, diperlukan inovasi teknologi agar harga PLTS + BESS dapat bersaing dengan PLTU pada kisaran US$6 sen –US$ 8 sen per kWh.
Di samping itu, PLN sedang mengkaji sejumlah teknologi yang dapat dimanfaatkan untuk pembangkit listrik. Perlahan, harga teknologi di pasar global juga terus mengalami penurunan, mulai dari carbon capture and storage hingga hidrogen.
“Diharapkan teknologi ini semakin murah diimplementasikan dalam sistem. Hal lain bagaimana mendorong tumbuhnya beban baru terkait pemanfaatan energi listrik.”