Bisnis.com, JAKARTA – PT PLN (Persero) menargetkan program konversi pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD) menjadi pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) bisa rampung pada 2026.
Saat ini, PLN tengah memulai proses lelang untuk pengadaan PLTS yang akan digunakan untuk mengkonversi PLTD.
“Targetnya akan rampung pada 2026 mendatang. Harapannya, sekitar 2.130 titik PLTD yang ada saat ini bisa terkonversi ke pembangkit energi bersih ataupun koneksi ke grid,” kata Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo melalui keterangan resmi, Senin (31/1/2022).
Dia menjelaskan, program konversi PLTD ke energi baru terbarukan (EBT) terbagi menjadi dua tahap. Pertama, PLN akan mengonversi sampai dengan 250 megawatt (MW) PLTD yang tersebar di beberapa titik di Indonesia.
Nantinya, PLTD itu akan diganti menjadi PLTS baseload, yang artinya ada tambahan baterai agar pembangkit bisa nyala 24 jam.
“Saat ini kami sedang melakukan lelang dalam 1–2 bulan ini. Saat ini sudah ada 160 peserta yang eligible,” ujarnya.
Darmawan menyatakan, dalam lelang itu PLN membebaskan spesifikasi baterai yang akan dipakai oleh peserta. PLN mengedepankan para peserta bisa meningkatkan inovasi, sehingga tercipta baterai yang efisien dan punya keandalan operasi.
“Jadi teknologi mana yang paling andal dan efisien, yang paling bagus. Jadi itu yang menang. Ini membangun inovasi,” ujar Darmawan.
Dia menuturkan, dengan konversi ke PLTS dan baterai, maka kapasitas terpasang pada tahap pertama ini bisa mencapai sekitar 350 MW, sehingga dapat mendongkrak bauran energi terbarukan dan penambahan kapasitas terpasang pembangkit secara nasional.
Dalam tahap kedua, PLN akan mengonversi PLTD sisanya sekitar 338 MW dengan pembangkit EBT lainnya, sesuai dengan sumber daya alam yang menjadi unggulan di daerah tersebut dan memiliki keekonomian yang terbaik.
Selain itu, PLN juga bekerja sama dengan PT Perusahaan Gas Negara Tbk. untuk rencana konversi PLTD ke pembangkit berbahan bakar gas. Beberapa PLTD yang tahun ini juga digarap bersama PGN mengganti PLTD menjadi pembangkit listrik tenaga gas uap (PLTGU) yang menyasar daerah terpencil.
“Kami juga bisa memakai opsi untuk menginterkoneksikan kepada sistem transmisi terdekat yang lebih besar, sehingga masyarakat tetap bisa menikmati listrik yang andal,” ujar Darmawan.
Seiring dengan perkembangan teknologi, Darmawan meyakini bahwa biaya produksi pembangkit EBT di Indonesia bakal semakin kompetitif dibandingkan dengan pembangkit berbasis fosil.
Hal itu bisa dilihat dari terus turunnya harga PLTS dan baterai. Pada tahun 2015, harga listrik dari PLTS dipatok US$25 sen per kilowatt hour (kWh), tetapi saat ini harga PLTS mampu ditekan hingga US$5,8 sen per kWh. Bahkan, dengan tren saat ini dapat turun di bawah US$4 sen per kWh.
Sementara itu, harga baterai saat ini mencapai US$13 sen per kWh, yang dulunya sempat di angka US$50 sen per kWh. Artinya, ada penurunan biaya hampir 80 persen.
Harga rata-rata paket baterai tipe Li-ion pada 2020 adalah US$137 per kWh, yang dulunya sempat di angka US$668 kWh pada tahun 2013. Artinya, ada penurunan biaya hampir 80 persen.
“Perkembangan teknologi dan inovasi mampu menekan dan mengurangi harga dari pembangkit EBT. Ini menjawab dilema antara energi bersih tapi mahal dan energi kotor tapi murah. Ini bisa dijawab, bahwa dalam kurun waktu tertentu energi bersih dan murah bisa dicapai,” imbuhnya.