Bisnis.com, JAKARTA — Ketua Umum Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI) Fabby Tumiwa Fabby menilai program konversi pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD) menjadi berbasis energi baru terbarukan (EBT) relatif memilki risiko tinggi.
Fabby beralasan letak PLTD yang saat ini berada di daerah terpencil dan tersebar tidak merata membuat pengembalian investasi menjadi tidak menarik.
“Kalaupun di-bundling itu biayanya mahal dan risikonya masih tinggi karena itu mereka tidak tertarik walaupun ada yang mungkin mau masuk tapi sebagian melihat itu terlalu berisiko,” kata Fabby kepada Bisnis, Kamis (5/10/2023).
Fabby berpendapat program konversi PLTD itu sebaiknya dikerjakan sendiri oleh PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) atau PLN. Dia mengatakan, program itu tidak ekonomis jika diserahkan kepada pengembang swasta.
Apalagi, kata dia, belakangan pengembang swasta keberatan dengan opsi penggabungan sistem antara pembangkit EBT dengan diesel yang bakal dijadikan backup. Skema itu bakal menyulitkan perhitungan ongkos dan investasi dari pengembang.
“Kan ini digabungin hybrid dengan diesel, masalahnya PLTD-nya itu bukan milik mereka tapi nanti akan digabungkan dengan sistemnya PLTD, ini yang membuat banyak pengembang bingung,” kata dia.
Baca Juga
Seperti diberitakan sebelumnya, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tengah mengkaji opsi tarif listrik gabungan atau hybrid untuk program konversi PLTD menjadi berbasis EBT.
Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian ESDM Yudo Dwinanda Priaadi mengatakan, kajian itu tengah didorong untuk memastikan program konversi PLTD itu tetap dapat menjaga keberlanjutan pasokan listrik EBT yang sebagian besar tidak stabil atau intermiten.
Selain itu, tarif gabungan itu juga dianggap dapat menarik investor bergabung pada program konversi pembangkit berbahan bahan fosil yang saat ini mayoritas tersebar di wilayah-wilayah terpencil. Kendati, kata Yudo, rujukan dasar tarif listrik itu sepenuhnya mengacu pada Perpres No.112/2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan Untuk Penyediaan Tenaga Listrik.
“Sekarang ini lagi kita kaji kalau barangkali digabungkan hybrid lebih dari satu jenis pembangkit di satu tempat, misalnya PLTS dengan tetap menggunakan diesel untuk backup, apakah nanti ujungnya kita mau mengeluarkan satu tarif khusus seperti ini melihat perkembangannya tergantung tipologinya,” kata Yudo saat ditemui di Kementerian ESDM, Jakarta, Kamis (5/10/2023).
Yudo mengatakan, kementeriannya meminta PLN untuk segera menyelesaikan lelang konversi pembangkit diesel tersebut di tengah upaya untuk menekan emisi. Apalagi belakangan harga minyak mentah dunia kembali mengalami kenaikan yang signifikan.
“Kita inginnya cepat karena PLTD itu pasti menghasilkan emisi besar itu concern pemerintah, kedua yang tertinggi kalau bicara mengenai berapa biaya untuk menghasilkan listrik per kilowatt hour jadi PLN juga dalam tekanan lah untuk mengganti itu,” kata dia.
Secara keseluruhan, setidaknya ada sekitar 5.200 unit PLTD berkapasitas 2,37 gigawatt (GW) di 2.130 lokasi yang akan dialihkan melalui program dedieselisasi tersebut. Adapun, program dedieselisasi pembangkit-pembangkit itu akan dilakukan dengan tiga skema, yakni pertama, konversi PLTD menjadi pembangkit listrik tenaga EBT (PLT EBT) berkapasitas 500 MW.
Kedua, konversi pembangkit listrik tenaga diesel ke gas (gasifikasi) dengan kapasitas 598 MW, dan ketiga, perluasan jaringan ke sistem terisolasi untuk meniadakan pembangkit listrik tenaga diesel dengan kapasitas 1.070 MW.
Sementara itu, sisa PLTD berkapasitas 203 MW masih akan digunakan sebagai sistem black-start saat terjadi pemadaman.