Bisnis.com, JAKARTA — Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tengah mengkaji opsi tarif listrik gabungan atau hybrid untuk program konversi pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD) menjadi berbasis energi baru terbarukan (EBT).
Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian ESDM Yudo Dwinanda Priaadi mengatakan, kajian itu tengah didorong untuk memastikan program konversi PLTD itu tetap dapat menjaga keberlanjutan pasokan listrik EBT yang sebagian besar tidak stabil atau intermiten.
Selain itu, tarif gabungan itu juga dianggap dapat menarik investor bergabung pada program konversi pembangkit berbahan bahan fosil yang saat ini mayoritas tersebar di wilayah-wilayah terpencil. Kendati, kata Yudo, rujukan dasar tarif listrik itu sepenuhnya mengacu pada Perpres No.112/2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan Untuk Penyediaan Tenaga Listrik.
“Sekarang ini lagi kita kaji kalau barangkali digabungkan hybrid lebih dari satu jenis pembangkit di satu tempat, misalnya PLTS dengan tetap menggunakan diesel untuk backup, apakah nanti ujungnya kita mau mengeluarkan satu tarif khusus seperti ini melihat perkembangannya tergantung tipologinya,” kata Yudo saat ditemui di Kementerian ESDM, Jakarta, Kamis (5/10/2023).
Yudo mengatakan, kementeriannya meminta PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) atau PLN untuk segera menyelesaikan lelang konversi pembangkit diesel tersebut di tengah upaya untuk menekan emisi. Apalagi belakangan harga minyak mentah dunia kembali mengalami kenaikan yang signifikan.
“Kita inginnya cepat karena PLTD itu pasti menghasilkan emisi besar itu concern pemerintah, kedua yang tertinggi kalau bicara mengenai berapa biaya untuk menghasilkan listrik per kilowatt hour jadi PLN juga dalam tekanan lah untuk mengganti itu,” kata dia.
Baca Juga
Seperti diberitakan sebelumnya, PLN tengah melelang proyek dedieselisasi pembangkit listrik berbasis bahan bakar minyak (BBM). Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo mengatakan, lelang program dedieselisasi tahap 1 itu bakal menyasar 94 lokasi yang terbagi ke dalam dua klaster, wilayah barat dan timur Indonesia.
“Kami sudah merancang dan saat ini sudah melakukan lelang, yaitu pembangkit diesel kami yang masih menggunakan BBM, kami gantikan dengan pembangkit EBT yang bisa beroperasi sebagai based load 24 jam,” kata Darmawan saat rapat dengar pendapat Panja Transisi Energi Komisi VI di DPR, Jakarta, Senin (2/10/2023).
Rencananya, kata Darmawan, pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD) yang masuk ke dalam program ini akan digantikan oleh panel surya dengan potensi 200 megawatt (MW). Di sisi lain, terdapat potensi investasi tambahan pada battery energy storage systems (BESS) sebesar 350 MWh pada tahap awal tersebut.
Selanjutnya, potensi pengembangan tambahan untuk tahap dua dan tiga mencapai 800 MWp panel surya. Adapun, hak pengelolaan diberikan selama 20 tahun sejak commercial operation date atau COD.
“Dan untuk itu klaster 1 itu ada 48 lokasi, klaster 2 ada 46 lokasi dengan total megawattnya 200, ada BESS sebesar 350 MWh,” kata dia.
Secara keseluruhan, setidaknya ada sekitar 5.200 unit PLTD berkapasitas 2,37 gigawatt (GW) di 2.130 lokasi yang akan dialihkan melalui program dedieselisasi tersebut. Adapun, program dedieselisasi pembangkit-pembangkit itu akan dilakukan dengan tiga skema, yakni pertama, konversi PLTD menjadi pembangkit listrik tenaga EBT (PLT EBT) berkapasitas 500 MW.
Kedua, konversi pembangkit listrik tenaga diesel ke gas (gasifikasi) dengan kapasitas 598 MW, dan ketiga, perluasan jaringan ke sistem terisolasi untuk meniadakan pembangkit listrik tenaga diesel dengan kapasitas 1.070 MW.
Sementara itu, sisa PLTD berkapasitas 203 MW masih akan digunakan sebagai sistem black-start saat terjadi pemadaman.
Selain dapat mengejar target bauran EBT, langkah dedieselisasi itu diharapkan juga dapat sekaligus memangkas beban operasional PLN yang makin lebar akibat kenaikan harga minyak mentah dunia.
Seperti yang pernah disampaikan perusahaan setrum pelat merah itu, setiap kenaikan US$1 per barel harga minyak mentah dunia, akan berdampak pada kenaikan biaya operasional pembangkit sebesar US$500.