Bisnis.com, JAKARTA – Inflasi volatile food pada 2022 diperkirakan bergerak lebih tinggi dibandingkan 2021 seiring dengan kenaikan konsumsi masyarakat di tengah membaiknya perekonomian.
Kenaikan konsumsi yang belum diimbangi dengan perbaikan rantai pasok bisa membuat harga pangan bergejolak, meski pasokan memadai.
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad memperkirakan inflasi volatile food bisa melampaui 3,5 persen pada 2022, lebih tinggi daripada 2021 di angka 3,2 persen. Inflasi pangan bergejolak dia sebut juga bisa lebih tinggi daripada inflasi inti dan inflasi administered prices.
"Inflasi volatile food pada 2022 bisa lebih tinggi. Permintaan masyarakat meningkat karena proses pemulihan ekonomi. Konsumsi masyarakat makin banyak, terutama untuk kelompok pangan bergejolak. Kemungkinan bisa mencapai 3,5 persen," kata Tauhid, Rabu (19/1/2022).
Dia mengatakan beras menjadi salah satu komoditas produksi dalam negeri yang cukup sensitif pergerakan harganya, terutama di daerah-daerah yang defisit antara tingkat produksi dan konsumsinya. Terlebih, margin perdagangan dan pengangkutan (MPP) beras mencapai 20 persen.
Harga rata-rata beras medium per 18 Januari 2022 tercatat di kisaran Rp10.400 per kilogram (kg) dan cenderung stabil dibandingkan dengan pekan lalu. Tetapi, harga memperlihatkan kenaikan 0,97 persen dibandingkan dengan posisi November 2021 yang berada di angka Rp10.300 per kg.
Baca Juga
Tauhid juga memberi catatan soal harga minyak goreng ke depan. Meski pemerintah telah mengeluarkan kebijakan subsidi untuk penerapan satu harga Rp14.000 per liter, Tauhid mengatakan kebijakan ini hanya berlaku selama enam bulan. Kemampuan subsidi pemerintah akan sangat menentukan stabilitas harga minyak goreng. "
Harga minyak sawit mentah diperkirakan masih tinggi sekitar 4.800 ringgit Malaysia per ton. Sejauh mana anggaran tersedia ini menjadi pertanyaan karena harga diprediksi masih tinggi sepanjang 2022," katanya.
Kelompok komoditas yang diimpor, lanjut Tauhid, juga menjadi pekerjaan rumah tersendiri. Harga komoditas pangan relatif tetap tinggi dan situasi ini diperburuk dengan biaya logistik global yang belum normal.
Meski pemerintah sudah menjamin kuota impor dan keamanan pasokan, terdapat kemungkinan harga yang diterima konsumen lebih tinggi daripada tahun-tahun sebelumnya.
"Dua hal ini, kenaikan permintaan dan biaya logistik di dalam dan luar negeri akan sangat memengaruhi gejolak harga ke depan. Mitigasi perlu diarahkan ke sini," kata dia.