Bisnis.com, JAKARTA — Country Manager of Meat & Livestock Australia (MLA) untuk Indonesia Valeska menuturkan sebagian pengusaha masih menunda investasinya pada program Red and Cattle Partnership akibat dampak pandemi Covid-19.
Kendati demikian, Valeska mengatakan, program economic powerhouse untuk daging sapi dalam kemitraan Indonesia Australia-Comprehensive Economic Partnership Agreement (IA-CEPA) dapat mengikat komitmen investasi dua negara untuk jangka panjang.
“Karena kondisi ekonomi, pandemi, para pengusaha menunda atau menahan ekspansi investasi, tetapi, walaupun demikian perusahaan yang sudah invest di Indonesia tidak menarik investasinya selama ini,” kata Valeska melalui pesan WhatsApp, Selasa (11/1/2022).
Investasi yang sudah tertanam di Indonesia lewat MLA itu, kata Valeska, menjadi aset infrastruktur yang penting untuk mengembangkan kembali rantai nilai pangan atau food value chain di tingkat regional yang terhambat akibat pandemi Covid-19.
“Sehingga sarana prasarana yang baik sudah siap saat nantinya investor masuk atau ekspansi,” tuturnya.
Di sisi lain, dia menambahkan, rantai pasok daging dan sapi dari Australia sudah berjalan optimal untuk memenuhi kebutuhan pasar di Indonesia. Hanya saja, menurut dia, torehan itu masih perlu ditingkatkan untuk menjaga rantai pasok gabungan ini tetap kompetitif.
Baca Juga
“Industri peternakan Indonesia dan Australia sangat resilient dan walaupun saat ini kondisi tidak optimal karena berbagai faktor, kita bersama-sama masih menanam benih dan melihat dari segi jangka panjang, bukan short term atau sesaat saja,” kata dia.
Menteri Perdagangan RI Enggartiasto Lukita (kanan) dan Menteri Perdagangan, Pariwisata, dan Investasi Australia Simon Birmingham menunjukkan dokumen perjanjian IA-CEPA pada 4 Maret 2019. /Bisnis-Feni Freycinetia
Kamar Dagang dan Industri (Kadin) mengatakan program economic powerhouse untuk daging sapi dalam kemitraan IA-CEPA belum berjalan optimal.
Kesepakatan dagang yang belakangan dituangkan dalam program Red and Cattle Partnership itu dinilai belum dapat menghasilkan komitmen investasi antar pelaku usaha dua negara itu untuk pengembangan rantai nilai pangan atau food value chain di tingkat Asia Tenggara.
Wakil Ketua Umum Bidang Perdagangan Kadin Juan Permata Adoe mengatakan pakta dagang itu belum bersifat komprehensif untuk dapat mengikat investasi pengembangan rantai nilai pangan antara Indonesia dan Australia.
“Belum bisa jalan karena persepsi di dalam program IA-CEPA ini tidak komprehensif, pelaku usaha Australia belum siap karena mindset mereka selama ini ekspor. Sekarang mereka tidak bisa ekspor ke Indonesia karena harga terlalu mahal,” kata Adoe melalui sambungan telepon, Selasa (11/1/2022).
Adoe mengatakan ekosistem dari pengembangan rantai nilai pangan antara Indonesia dan Australia belum terbangun baik. Misalkan, dia mencontohkan, naiknya harga sapi bakalan Australia mengakibatkan pasokan untuk kebutuhan Indonesia tidak dapat terpenuhi.
Konsekuensinya, pasokan sapi bakalan dari Australia belakangan dipenuhi dari negara produsen lain. Adapun, pakta dagang itu tidak dapat menjamin ketersediaan pasokan sapi bakalan yang dialokasikan ke Indonesia sebagai negara mitra rantai nilai pangan.
“Harganya tidak memiliki daya saing sehingga tidak berkelanjutan hal itu yang membuat pemanfaatan IA-CEPA tidak bisa berjalan,” kata dia.
Kendati demikian, dia mengatakan, sejumlah pengusaha Indonesia sudah mulai untuk mengimpor sapi bakalan dari Australia tahun ini. Meski, dia menambahkan, importir itu sudah lebih dahulu memiliki perusahaan di Australia.
Menurut dia, sekitar 10 perusahaan dalam negeri kembali aktif mengimpor sapi bakalan untuk pengembangan rantai nilai pangan dari Australia. Investasi yang dikeluarkan untuk pengembangan rantai nilai pangan itu ditaksir mencapai Rp500 miliar untuk masing-masing perusahaan.
Dalam laporan tengah tahun Joint State of the Industry (JSOI) 2021 yang dirilis kemitraan, ekspor sapi bakalan Australia ke Indonesia hanya mencapai 229.500 ekor sepanjang semester I/2021. Jumlah ini turun 11 persen dibandingkan dengan periode yang sama setahun sebelumnya.
Ekspor total sapi bakalan Australia diperkirakan melanjutkan penurunan pada tahun ini, yakni di kisaran 9 persen secara tahunan dan 36 persen dibandingkan dengan 2019. Turunnya impor ini tak lepas dari pemulihan populasi sapi Australia yang masih berlanjut dan diikuti dengan harga yang relatif masih tinggi. Laporan JSOI menunjukkan harga sapi hidup yang dikirim dari Darwin mencapai level tertinggi AU$4,30 per kilogram.