Bisnis.com, JAKARTA - Sejumlah komoditas diyakini bisa tetap memberi sumbangsih bagi neraca perdagangan, meski ekspor batu bara dihentikan untuk sementara pada Januari 2022.
Direktur Eksekutif Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo) Firman Bakrie mengatakan ekspor alas kaki bisa tetap tumbuh secara bulanan pada awal tahun.
Ekspor alas kaki pada Januari disebut Firman tetap naik dibandingkan dengan Desember pada tahun sebelumnya. Hal ini berbeda dengan tren ekspor nonmigas yang secara historis turun secara bulanan pada Januari dibandingkan dengan bulan sebelumnya.
“Trennya belum langsung turun pada Januari, kemungkinan mulai turun pada Mei low season di alas kaki,” kata Firman, Senin (3/1/2022).
Ekspor alas kaki pada Januari 2021 bernilai US$490,11 juta, tumbuh dibandingkan dengan kinerja ekspor Desember 2020 yang bernilai US$461,94 juta. Kenaikan serupa juga terlihat pada Januari 2020 yang bernilai US$424,22 juta dari US$366,90 juta pada Desember 2019.
Namun dia tidak bisa memastikan kinerja ekspor alas kaki bisa memberi kontribusi signifikan pada neraca perdagangan sebagaimana batu bara. Firman hanya menyebutkan bahwa larangan tersebut bisa mendukung upaya pemenuhan pasokan listrik bagi pabrik .
Baca Juga
“Kalau [batu bara] tidak dilarang ekspor beberapa anggota yang pakai batu bara pasti juga akan kesulitan,” katanya.
Sementara itu, Wakil Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Togar Sitanggang mengatakan ekspor produk minyak sawit secara historis cenderung turun pada awal tahun. Namun dia mengatakan tren tersebut bisa berubah.
“Tidak ada yang tahu pastinya seperti apa, termasuk dari sisi harga dan volume,” kata Togar.
Produk sawit menjadi komoditas penyumbang ekspor nonmigas terbesar sepanjang 2021. Sampai November 2021, nilai ekspor produk sawit mencapai US$29,85 miliar.
Gapki memperkirakan nilai ekspor minyak sawit mentah dan turunannya bisa menembus US$35 miliar pada 2021. Harga diperkirakan masih berkisar di level US$1.300 per ton dan stok yang bisa diekspor pada November dan Desember mencapai 6,4 juta ton.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (Core) Mohammad Faisal menilai larangan ekspor batu bara perlu dilihat dari sisi kepentingan pemulihan ekonomi nasional, tak hanya pada kontribusi komoditas tersebut pada kinerja ekspor. Dia menilai pasokan batu bara untuk kebutuhan listrik penting untuk menjamin aktivitas manufaktur dan ekonomi di dalam negeri tetap berjalan.
Di samping itu, Faisal mengatakan potensi ekspor dari batu bara yang hilang bisa digantikan dengan ekspor produk lainnya seperti minyak sawit dan besi dan baja. Dia mencatat surplus perdagangan dalam beberapa bulan terakhir telah melampaui besaran ekspor batu bara.
“Kalau kita asumsikan ekspor batu bara di kisaran US$2 miliar sampai US$3 miliar, sementara surplus di atas US$4 miliar per bulannya, masih ada surplus. Untuk ekspor manufaktur dan komoditas lain seperti besi dan baja dan CPO masih bisa meredam kehilangan yang mungkin timbul dari hilangnya ekspor batu bara,” katanya.
Adapun sebagaimana diketahui pemerintah melarang ekspor batu baru sepanjang Januari 2022. Hal ini guna menjamin ketersediaan komoditas tersebut untuk pembangkit listrik dalam negeri.
Pelarangan ekspor sementara tersebut berlaku untuk perusahaan pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) atau IUPK tahap kegiatan operasi produksi, dan IUPK sebagai kelanjutan operasi kontrak/perjanjian, serta PKP2B.
Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ridwan Jamaludin mengatakan bahwa larangan sementara ekspor batu bara dilakukan guna memastikan pasokan komoditas itu untuk pembangkit listrik di dalam negeri.
Pasalnya, apabila pembangkit listrik di dalam negeri kekurangan pasokan batu bara bisa berdampak kepada lebih dari 10 juta pelanggan PT PLN (Persero), mulai dari masyarakat umum hingga industri di Jawa, Madura, Bali (Jamali), dan non-Jamali.
“Kenapa semuanya dilarang ekspor? Terpaksa dan ini sifatnya sementara. Jika larangan ekspor tidak dilakukan, hampir 20 Pembangkit Listrik Tenaga Uap [PLTU] dengan daya sekitar 10.850 megawatt akan padam,” katanya dikutip dari laman resmi Kementerian ESDM, Sabtu (1/1/2022).
Ridwan menuturkan, pemadaman listrik nantinya berpotensi mengganggu stabilitas perekonomian nasional.
Saat pasokan batu bara untuk pembangkit listrik sudah terpenuhi, kata dia, maka perusahaan diizinkan kembali untuk mengekspor. Pemerintah pun akan mengevaluasi kembali kebijakan tersebut pada 5 Januari 2022.