Bisnis.com, JAKARTA - Pemerintah tengah mengaji skema pemberian insentif pajak tahun depan seiring dengan berlangsungnya pemulihan ekonomi, terutama di sejumlah sektor.
Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara, pada bulan lalu, mengatakan pemberian setiap insentif pajak akan dikurangi seiring dengan perkembangan masing-masing sektor usaha. Selain itu, beberapa insentif seperti untuk pembelian mobil dan properti sudah memiliki jangka waktu tertentu.
Menanggapi rencana ini, Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Yusuf Rendy Manilet menilai pemerintah perlu melakukan pengurangan insentif dengan hati-hati.
Yusuf menuturkan rencana tersebut mengingat karena dua hal, yakni pemulihan ekonomi sejalan dengan penanganan Covid-19, dan upaya untuk menurunkan defisit anggaran kembali ke 3 persen di 2023.
Akan tetapi, Yusuf melihat masih banyak indikator lain yang menunjukkan bhawa pemerintah perlu berhati-hati dalam mengambil langkah tersebut. Salah satu alasannya adalah angka pengangguran yang masih tinggi.
"Memang argumen untuk mencabut stimulus perlu dilakukan secara hati-hati. Tingkat pengangguran Indonesia belum kembali seperti level sebelum pandemi, artinya masih ada kelompok usia pekerja yang belum kembali terserap oleh lapangan kerja yang ada saat ini," jelas Yusuf kepada Bisnis, Rabu (24/11/2021).
Baca Juga
Oleh karena itu, dia menilai upaya untuk membantu pelaku usaha agar kembali melakukan ekspansi usaha, seharusnya yang perlu untuk lebih didorong pelaksanaannya. Salah satunya bisa dilakukan dengan penyediaan insentif pajak bagi pelaku usaha.
Menurut Yusuf, realisasi yang tinggi pada kluster insentif pajak anggaran program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) 2021 menunjukkan bahwa dunia usaha sangat membutuhkan insentif.
Per 19 November, kluster anggaran insentif usaha memiliki penyerapan paling tinggi di antara lima kluster anggaran PEN, atau sebesar Rp62,47 triliun atau 99,4 persen dari pagu Rp62,83 triliun.
"Artinya ini menujukkan insentif pajak dibutuhkan untuk pelaku usaha. Tentu kita mengerti bahwa pemerintah juga tengah berupaya untuk menurunkan defisit anggaran kembali ke 3 persen di 2023, namun saya kira upaya untuk mengejar target tersebut masih relatif memungkinkan dilakukan apalagi di tahun depan beberapa faktor mendukung pemerintah untuk bisa tetap menjalankan kebijakan fiskal yang fleksibel," terang Yusuf.
Apabila rencana pengurangan sektor yang mendapatkan insentif diberikan lampu hijau, maka akan ada sejumlah sektor yang diperkirakan berpotensi dikurangi insentifnya sejalan dengan pemulihan yang baik. Yusuf mengatakan ada beberapa sektor yang masih akan melanjutkan proses pemulihan di tahun depan.
"Beberapa pos yang akan melanjutkan pemulihan di tahun depan seiring dengan proyeksi pemulihan ekonomi seperti misalnya, sektor informasi dan komunikasi, konstruksi, dan industri manufaktur," ucapnya.
Akan tetapi, Yusuf menjelaskan proses pemulihan beragam subsektor dalam sektor industri manufaktur pun akan berbeda satu dengan yang lain.
Misalnya, industri farmasi diperkirakan masih akan melanjutkan proses pemulihan, sedangkan proses pemulihan pada industri tekstil diperkirakan relatif lebih rendah jika dibandingkan dengan sub-sektor industri manufaktur lain.
Di luar industri manufaktur, sektor lain yang diramal masih membutuhkan insentif yaitu sektor akomodasi, makanan dan minuman, serta pariwisata.
"Sektor pariwisata membutuhkan waktu yang pemulihan yang sedikit lebih lama jika dibandingkan sektor lain. Sehingga dukungan insentif, masih diperlukan," tutupnya.