Bisnis.com, JAKARTA – Komisi V DPR RI mendukung pengerjaan pembangunan Kereta Cepat Jakarta-Bandung sebagai jawaban akan tingginya arus pergerakan orang dari dan menuju dua kota besar tersebut.
Namun, Ketua Komisi V Lasarus menyarankan Komisi VI DPR RI yang mempunyai lingkup tugas terkait investasi dan BUMN agar sebaiknya melakukan evaluasi terlebih dahulu mengenai penyebab bengkaknya pendanaan dari mega proyek itu.
"Terkait investasi dan BUMN itu domainnya Komisi VI, saran sebaiknya dilakukan evaluasi terlebih dahulu agar publik dapat mengetahui sebab terjadinya pembengkakan anggaran yang dimaksud," katanya ketika dihubungi Bisnis, Kamis (14/10/2021).
Sebelumnya, Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira juga menyarankan agar DPR dapat melakukan evaluasi terlebih dahulu sebelum menyetujui masuknya investasi pemerintah ke proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung.
Sebagaimana diketahui, Presiden Joko Widodo akhirnya membuka opsi pendanaan Kereta Cepat Jakarta-Bandung melalui APBN demi kelangsungan mega proyek yang tersandung masalah pembengkakan biaya sebesar Rp27,74 triliun itu.
Direktur Keuangan & Manajemen Risiko PT Kereta Api Indonesia (Persero) atau KAI Salusra Wijaya melaporkan bahwa kebutuhan investasi proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung membengkak dari US$6,07 miliar atau sekitar Rp86,5 triliun (kurs Rp14.280 per dolar AS) menjadi US$8 miliar atau setara Rp114,24 triliun.
Baca Juga
Padahal pada 2016, Jokowi sendiri pernah menyatakan bahwa proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung tidak boleh memakai APBN. Menurutnya, lebih baik uang negara dipakai untuk membangun infrastruktur di daerah, terutama luar Jawa.
"Saya tidak mau kereta cepat ini menggunakan APBN. Makanya pembangunan ini sepenuhnya pakai investasi. Nanti kalau pakai APBN saya ditanya lagi, Pak kok Jawa lagi, yang di luar Jawa kapan? Yang di Papua kapan? Selalu rakyat bertanya seperti itu," tegas Jokowi kala itu.
Namun ternyata, kini Jokowi meralat janjinya. Polemik pendanaan atas bengkaknya proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung akhirnya terjawab setelah presiden meneken Peraturan Presiden (Perpres) No.93/2021 yang salah satu poin utamanya adalah proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung kini bisa didanai oleh APBN.
Bhima menilai, sebelum memutuskan ikut berinvestasi, pemerintah seharusnya membongkar terlebih dulu penyebab anggaran proyek itu membengkak kemudian melakukan audit dari BPK.
"Jangan asal suntik proyek yang sebenarnya manfaat ekonominya kecil dan akan jadi beban jangka panjang bagi fiskal negara. Soal utang tersembunyi [hidden debt] sudah bisa terindikasi dari permainan penugasan BUMN yang kemudian meminjam uang lewat penerbitan surat utang. Ini terlihat bahwa hanya urusan B2B saja. Tapi triknya terlihat ketika B2B tadi ternyata pakai jaminan pemerintah. Kan tidak fair," tegasnya.
Menurut Bhima, proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung akan menjadi beban bagi pemerintah. Pasalnya, jumlah utang negara akan meningkat secara langsung maupun tidak langsung.
Lebih lanjut dia menyebut, meski konsorsium yang menerbitkan utang dengan jaminan pemerintah, tetap akan menimbulkan risiko kontijensi yaitu risiko yang muncul ketika BUMN mengalami tekanan dan berakibat pada neraca anggaran pemerintah.
"Ini yang disebut sebagai debt trap atau jebakan utang. Awal masalah karena proyek yang disetujui secara feasibility study atau studi kelayakan bermasalah, biaya proyek membengkak, kemudian ujungnya pemerintah harus turun tangan," katanya.
Pada akhirnya, ujar Bhima, pemerintah akan kesulitan melanjutkan proyek ini. Mega proyek ini hanya akan menyita pajak masyarakat dan menambah utang baru.
Bukan itu saja, dia menyebut beban utang yang meningkat tentu akan membahayakan APBN dalam jangka panjang. Terlebih, pada 2022 target defisit anggaran masih berada pada level 4,85 persen dari PDB.
"Pemerintah juga harus menanggung pembayaran bunga utang Rp405 triliun. Apakah proyek kereta cepat ini sudah diperhitungkan dalam APBN 2022?" tutur Bhima.