Bisnis.com, JAKARTA – Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira menyebut proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung akan menjadi beban bagi pemerintah. Pasalnya, jumlah utang negara akan meningkat secara langsung maupun tidak langsung.
Menurutnya, meski konsorsium yang menerbitkan utang dengan jaminan pemerintah sekalipun, akan terdapat risiko kontijensi, yaitu risiko yang muncul ketika BUMN mengalami tekanan dan berakibat pada neraca anggaran pemerintah.
“Ini yang disebut sebagai debt trap atau jebakan utang. Awal masalah karena proyek yang disetujui secara feasibility study atau studi kelayakan bermasalah, biaya proyek membengkak, kemudian ujungnya pemerintah harus turun tangan,” katanya kepada Bisnis.com, Rabu (13/10/2021).
Pada akhirnya, ujar Bhima, pemerintah akan kesulitan melanjutkan proyek itu. Mega proyek tersebut akan menyita pajak masyarakat dan menambah utang baru.
Bukan itu saja, dia menyebut bahwa beban utang yang meningkat tentu akan membahayakan APBN dalam jangka panjang. Terlebih, target defisit anggaran pada 2022 masih berada pada level 4,85 persen dari PDB.
“Pemerintah juga harus menanggung pembayaran bunga utang Rp405 triliun. Apakah proyek kereta cepat ini sudah diperhitungkan dalam APBN 2022?” tutur Bhima.
Baca Juga
Melihat hal itu, Bhima berharap DPR dapat melakukan evaluasi terlebih dahulu sebelum menyetujui masuknya investasi pemerintah ke proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung.
Dia menilai, pemerintah seharusnya membongkar terlebih dulu penyebab anggaran proyek itu membengkak, kemudian melakukan audit dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
“Jangan asal suntik proyek yang sebenarnya manfaat ekonominya kecil dan akan jadi beban jangka panjang bagi fiskal negara. Soal utang tersembunyi [hidden debt] sudah bisa terindikasi dari permainan penugasan BUMN yang kemudian meminjam uang lewat penerbitan surat utang. Ini terlihat bahwa hanya urusan B2B saja. Tapi triknya terlihat ketika B2B tadi ternyata pakai jaminan pemerintah. Kan tidak fair,” tegasnya.
Sebagaimana diketahui, belakangan ramai diperbincangkan mengenai keputusan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang membuka opsi pendanaan Kereta Cepat Jakarta–Bandung melalui APBN demi kelangsungan mega proyek yang tersandung masalah pembengkakan biaya sebesar Rp27,74 triliun itu.
Direktur Keuangan & Manajemen Risiko PT Kereta Api Indonesia (Persero) atau KAI Salusra Wijaya melaporkan bahwa kebutuhan investasi proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung membengkak dari US$6,07 miliar atau sekitar Rp86,5 triliun (kurs Rp14.280 per dolar AS) menjadi US$8 miliar atau setara Rp114,24 triliun.
Padahal pada 2016, Jokowi sendiri pernah menyatakan bahwa proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung tidak boleh memakai APBN. Menurutnya, lebih baik uang negara dipakai untuk membangun infrastruktur di daerah, terutama luar Jawa.
“Saya tidak mau kereta cepat ini menggunakan APBN. Makanya pembangunan ini sepenuhnya pakai investasi. Nanti kalau pakai APBN saya ditanya lagi, Pak kok Jawa lagi, yang di luar Jawa kapan? Yang di Papua kapan? Selalu rakyat bertanya seperti itu,” tegas Jokowi kala itu.
Namun ternyata, kini Jokowi meralat janjinya. Polemik pendanaan atas bengkaknya proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung akhirnya terjawab setelah Presiden meneken Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 93/2021.
Perpres tersebut merupakan perubahan atas Perpres Nomor 107/2015, tentang Percepatan Penyelenggaraan Prasarana dan Sarana Kereta Cepat Jakarta Bandung.
Terdapat sejumlah poin utama yang terdapat dalam revisi beleid tersebut. Salah satunya, proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung kini bisa didanai oleh APBN.