Bisnis.com, JAKARTA – Pemerintah memberlakukan tarif Penghasilan (PPh) Badan sebesar 22 persen mulai Tahun Pajak 2022.
Hal itu menjadi salah satu kebijakan yang termuat dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
Regulasi komprehensif teranyar ini memuat penyesuaian berbagai kebijakan perpajakan sebagai strategi untuk meningkatkan pertumbuhan perekonomian yang berkelanjutan dan mendukung percepatan pemulihan perekonomian diperlukan strategi konsolidasi fiskal yang berfokus pada perbaikan defisit anggaran dan peningkatan rasio pajak.
Dalam informasi resmi Kementerian Keuangan, terungkap bahwa keputusan tersebut diambil dengan membandingkan rata-rata tarif PPh Badan di negara-negara OECD, Eropa, Amerika, Inggris, G-20, dan Asean.
Di negara-negara Amerika, rata-rata tarif PPh Badan yang berlaku sebesar 27,16 persen, sedangkan di negara-negara Eropa, rata-rata tarif PPh Badan sebesar 18,98 persen.
Namun, penetapan tarif PPh Badan di Indonesia sebesar 22 persen masih dapat dikatakan wajar. Pasalnya, masih lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata tarif PPh Badan negara-negara Asean sebesar 22,17 persen dan negara anggota OECD sebesar 22,81 persen.
Di samping itu, penetapan tarif PPh Badan ini diharapkan mampu mengoptimalkan penerimaan negara serta meningkatkan kepatuhan sukarela wajib pajak.
“Ini pun sejalan dengan tren perpajakan global yang mulai berupaya meningkatkan kontribusi penerimaan pajak korporasi, namun dengan tetap menjaga iklim investasi di Indonesia,” demikian informasi resmi Kemenkeu.
Sebagai informasi, Rancangan UU HPP telah disepakati menjadi Undang-Undang dalam Rapat Paripurna DPR RI Ke-7 Masa Persidangan I Tahun Sidang 2021–2022, Kamis (7/10/2021).
UU HPP ini sebelumnya diusulkan oleh pemerintah dengan judul Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Kelima atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) kepada DPR pada 5 Mei 2021 dan dibacakan dalam Sidang Paripurna pada 21 Juni 2021.
Substansi RUU tersebut adalah untuk melaksanakan reformasi perpajakan dan meningkatkan penerimaan perpajakan, namun tetap dapat menjaga kondisi masyarakat dan dunia usaha, terutama masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah dan pelaku usaha mikro, kecil dan menengah agar tidak terbebani dengan perubahan kebijakan perpajakan ini serta tetap menjaga momentum pemulihan ekonomi yang tertekan akibat Pandemi Covid-19.
Sesuai dengan berbagai masukan dari stakeholder, serta usulan DPR, maka judul RUU KUP disepakati berubah menjadi RUU HPP dengan menggunakan metodologi omnibus sesuai dengan substansi yang diatur, yang memuat 6 (enam) kelompok materi utama yang terdiri dari 9 BAB dan 19 Pasal, yaitu mengubah beberapa ketentuan yang diatur dalam beberapa UU perpajakan, baik UU Ketentuan Umum Perpajakan (UU KUP), UU Pajak Penghasilan (UU PPh), UU Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (UU PPN), UU Cukai, Program Pengungkapan Sukarela (PPS) dan memperkenalkan Pajak Karbon.