Bisnis.com, JAKARTA - Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menegaskan kondisi krisis energi yang terjadi di sejumlah negara termasuk China dan Inggris berdampak ke seluruh penjuru dunia, termasuk Indonesia.
"Untuk itu, Pemerintah terus berupaya memperbaiki iklim investasi guna meningkatkan daya saing investasi di sektor energi melalui berbagai insentif. Hal itu akan meningkatkan penerimaan negara yang dapat dipergunakan sebagai modal pembangunan nasional,” ujar Airlangga dalam acara Purnomo Yusgiantoro Center (PYC) International Energy Conference secara virtual di Jakarta, Rabu (6/10/2021).
Kondisi yang terjadi saat ini pada pasar energi dunia yaitu meroketnya harga gas dan batu bara, disusul kenaikan harga minyak. Hal ini menyebabkan terjadinya krisis energi di Eropa, khususnya Inggris, serta di Tiongkok.
Krisis energi di Inggris diakibatkan terjadinya 'perfect storm' yakni kondisi musim panas yang sangat panas. Kemungkinan kondisi akan berlanjut dengan musim dingin yang sangat dingin menjelang akhir tahun ini di Eropa. Lalu, keterbatasan pasokan dari Rusia (sebagai salah satu pemasok utama bagi Eropa), serta investasi infrastruktur penyimpanan (storage) gas yang terkendala turut memperparah kondisi ini.
Dalam konteks Eropa, aturan emisi CO2 yang semakin ketat juga menyebabkan harga karbon menjadi sangat tinggi.
Sementara itu, pulihnya ekonomi di negara Tirai Bambu saat ini menyebabkan permintaan energi yang tinggi, dan telah membuat harga batu bara mencapai tingkat tertinggi selama sejarah melebihi US$230 per ton di awal Oktober 2021.
Baca Juga
Dengan keterbatasan pasokan gas di Eropa, banyak pasokan yang tadinya untuk tujuan pasar Asia beralih ke Eropa, sehingga harga di Asia, yang direpresentasikan oleh harga spot LNG meningkat sangat tinggi mencapai lebih dari US$25 per mmbtu.
Di tengah krisis energi ini, Airlangga menegaskan Indonesia tidak melupakan aspirasi jangka panjang, termasuk dalam menangani masalah pemanasan global akibat perubahan iklim.
Hal ini akan berdampak pada keharusan semua negara untuk melakukan transisi energi. Konsumsi energi ke depan perlu memperhatikan emisi karbon, sehingga kebijakan Pemerintah mengarah pada pemberian insentif bagi penggunaan energi bersih seperti energi terbarukan.
Di saat yang sama juga membuat kebijaksanaan disinsentif, bahkan menghentikan atau moratorium penggunaan energi fosil, khususnya yang beremisi karbon relatif lebih tinggi.
Pembangunan ke depan diarahkan untuk mempertahankan keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi, target penurunan emisi, dan kapasitas daya dukung sumber daya alam. Pemerintah akan membuat kebijakan yang mengakomodasi nilai ekonomi karbon yang implementasinya akan dilakukan secara bertahap.
Menurut Airlangga, pengenaan pajak karbon tidak serta merta akan dilakukan, namun akan dilakukan secara bertahap melalui kajian dari berbagai aspek, baik ekonomi, sosial, maupun politis.
Pembahasan serta kajian ini akan melibatkan berbagai kalangan, termasuk sektor swasta. Tantangan multidimensi yang dihadapi kali ini perlu ditanggapi secara seksama dengan melibatkan seluruh komponen bangsa.
“Pemerintah tidak bisa bergerak sendirian. Sektor swasta, akademisi serta organisasi wadah pemikir (think-tank), dan organisasi masyarakat sipil atau lembaga swadaya masyarakat, perlu bahu-membahu berkontribusi mendukung Pemerintah dalam menghasilkan kebijakan yang berorientasi jangka panjang, tetapi tak lupa mengatasi tantangan jangka pendek saat ini,” tegas Airlangga.