Bisnis.com, JAKARTA – Krisis energi di China memaksa banyak pabrik di negara tersebut menyesuaikan kapasitas produksi. Tetapi, situasi ini tak lantas membuat kontrak pemesananan produk manufaktur beralih ke negara lain, termasuk Indonesia.
“Menurut pandangan kami order atau kontrak dengan jumlah dan volume yang besar tidak akan mudah untuk dialihkan jika masalah electricity shortage ini hanya bersifat jangka pendek,” kata Kepala Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan (BPPP) Kemendag Kasan, Senin (4/10/2021).
Bloomberg melaporkan pabrik-pabrik di 21 provinsi China telah terdampak oleh pasokan listrik yang ketat dalam beberapa pekan terakhir. Beberapa pabrik memutuskan untuk memangkas produksi dan hanya memprioritaskan kontrak yang menguntungkan.
Meski demikian, Kasan berpandangan kebijakan jangka panjang sektor energi yang diadopsi China bisa menjadi peluang bagi masuknya investasi baru Indonesia, terlebih jika situasi ini menyebabkan biaya energi di China menjadi lebih mahal.
“Energi yang lebih mahal menyebabkan biaya produksi di China lebih mahal. Hal ini bisa menjadi insentif bagi investor global untuk melirik Indonesia sebagai alternatif basis industri,” ujarnya.
Dia berpandangan Indonesia memiliki keunggulan dalam memasok energi dan bahan baku atau intermediate. Hal tersebut menjadi modal untuk menopang kegiatan industri hilir yang bernilai tambah tinggi dengan harga produksi yang lebih kompetitif.
“Dengan memastikan ketersedian infrastruktur penunjang industri, sumber daya manusia dan kelembagaan yang baik, kami melihat peluang jangka menengah dan panjang yang positif bagi Indonesia untuk melakukan transformasi industri menjadi industri yang lebih padat modal dan padat teknologi,” kata Kasan.
Krisis energi di China dipicu oleh terbatasnya operasional pembangkit listrik di negara tersebut, imbas dari kerugian yang muncul akibat mahalnya harga batu bara. Listrik di China dijual dengan harga tetap yang terikat oleh regulasi ketat yang ditetapkan pada 2019. Akibatnya, beberapa provinsi mulai menerapkan tarif listrik baru demi mengatasi situasi ini.
Di sisi lain, pemerintahan Xi Jinping juga tengah mengejar target pengurangan emisi. China menargetkan mengurangi penggunaan energi sekitar 3 persen pada tahun ini.
Situasi di China diperkirakan akan menjadi disrupsi terbaru dalam rantai pasok global setelah kelangkaan kontainer dan naiknya biaya pengapalan. Krisis energi ini juga membuat ekonom Goldman Sachs merevisi pertumbuhan ekonomi China dari 8,2 persen menjadi 7,8 persen untuk 2021 dan 5,5 persen pada 2022.