Bisnis.com, JAKARTA – Krisis energi yang terjadi di China dalam beberapa pekan terakhir diperkirakan berdampak pada kinerja ekspor Indonesia ke negara tersebut. China merupakan negara tujuan ekspor terbesar RI dengan pangsa lebih dari 20 persen.
Kepala Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan (BPPP) Kemendag Kasan mengatakan krisis listrik di China diperkirakan menekan kinerja ekspor komoditas nonenergi Indonesia ke pasar China. Komoditas nonenergi yang dikirim Indonesia ke China biasanya merupakan bahan baku atau intermediate bagi industri-industri yang padat energi.
“Ketika terjadi gangguan pasokan listrik maka alternatif pasokan listrik akan sangat sulit diperoleh oleh pabrik-pabrik yang sifatnya energy intensive. Kalaupun ada alternatif pasokan kemungkinan harganya akan mahal sehingga menjadi tidak ekonomi bagi industri untuk beroperasi,” kata Kasan kepada Bisnis, Senin (4/10/2021).
Ekspor terbesar Indonesia ke China selama periode Januari sampai Juli 2021 adalah batu bara dalam bentuk briket yang masuk kode HS 2701. Nilai ekspor komoditas tersebut mencapai US$3,60 miliar.
Posisi batu bara disusul oleh ekspor ferro-alloys senilai US$3,31 miliar. Komoditas tersebut merupakan bahan baku industri besi dan baja China yang turut terganggu aktivitasnya akibat pasokan listrik yang terbatas.
Meski demikian, Kasan mengatakan situasi di China berpotensi mengerek ekspor komoditas energi seperti batu bara. Lebih dari dua pertiga pasokan listrik China berasal dari pembakit bertenaga batu bara.
Baca Juga
Meski 90 persen pasokan berasal dari penambangan dalam negeri, China tetap kesulitan menaikkan produksi dalam waktu singkat sehingga memerlukan impor.
“Jika produksi batu bara Indonesia tidak terganggu, mengingat kita sekarang masuk pada musim penghujan, kami berharap ekspor komoditas energi ke China akan tetap tumbuh dengan cukup baik dengan tingginya harga dan kemampuan peningkatan produksi batu bara Indonesia di tengah shortage electricity,” kata Kasan.
Pabrik-pabrik di 21 provinsi China telah terdampak oleh pasokan listrik yang ketat dalam beberapa pekan terakhir. Terbatasnya pasokan listrik ini dipicu oleh naiknya harga batu bara yang membuat penyedia energi merugi menjual listrik dengan harga tetap.
Imbas dari krisis energi ini, indeks manufaktur China menyentuh 49,6 pada September, dari level 50,1 pada Agustus 2021.
Selain itu, pemerintah China juga memberi sinyal kepada industri yang bersifat energy-intensive untuk mengurangi produksi pada sisa 2021. Negeri Panda tengah mengejar target pengurangan emisi dengan mengurangi penggunaan energi sekitar 3 persen tahun ini.