Bisnis.com, JAKARTA - Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor (IPB) Didin S Damanhuri mengatakan bahwa pendapatan per kapita Indonesia sempat setara dengan Korea Selatan (Korsel) dan Malaysia. Sekitar 1970, ketiga negara tersebut berada pada angka US$70 per tahun.
Akan tetapi kini perbedaannya sangat signifikan. Didin mencatat Korsel pada akhir 1980 telah melaju dengan pesat menjadi negara kaya dan tahun lalu pendapatan per kapita US$31.500. Malaysia ada di US$11.500.
Sedangkan Indonesia sepersepuluh dari Korsel dan sepertiga Malaysia atau belum bisa melewati angka US$5.000. Memang, jika melihat kondisi sosial-ekonomi tidak sebanding. Akan tetapi ada hal objektif yang bisa dijadikan kesimpulan.
“Negara-negara tersebut konsisten sejak 1970 melakukan strategi industrialisasi. Sedangkan Indonesia hanya melakukan itu sejak awal 1980 hingga akhir 1990. Ke sininya kita hilang perspektif strategi industrialisasi,” katanya pada diskusi virtual, Selasa (13/7/2021).
Didin yang juga merupakan ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menjelaskan bahwa sebelum Covid-19, Indonesia sudah mengalami kendala.
Ada masalah struktural yang membuat Indonesia semakin tertinggal dari Korsel dan Malaysia dan terancam terus terjebak pada negara berpendapatan menengah (middle income trap).
Baca Juga
Setidaknya ada tiga faktor dalam masalah struktural tersebut. Pertama, pemerintah tidak punya strategi industrialisasi, khususnya pada era reformasi.
Berdasarkan studinya selama 30 tahun, ini berdampak pada perkembangan konten teknologi. Pada era Soeharto, hal tersebut masih positif. Tapi setelahnya negatif.
Kedua, terjadi deindustrialisasi. Para pelaku ekonomi Indonesia diisi para pemburu rente yang hanya melihat akumulasi kapital.
Mereka tidak diminta untuk menjadi pengusaha yang semakin dalam untuk merebut teknologi sebagai peluang. Akhirnya, pengusaha tersebut hanya berpikir untuk menguntungkan diri sendiri.
Ketiga, peran negara dalam menghasilkan pendapatan minim dan hanya bertindak sebagai regulator. Ini membuat swasta semakin kuat bahkan pendapatannya lebih besar dari produk domestik bruto (PDB) Indonesia.
“Akhirnya terjadi ketimpangan. Orang sangat kaya dan super kaya naik. Tapi orang di bawah terjadi penurunan. Ada studi mengatakan daya beli mereka 70 persen turun. Ini makin runyam kalau elit politik tidak melakukan reformasi yang mendasar, yaitu reformasi politik dan ekonomi,” jelasnya.