Bisnis.com, JAKARTA - Staf Khusus Menteri Keuangan (Stafsus Menkeu) Bidang Komunikasi Strategis Yustinus Prastowo mengatakan bahwa secara mudah atau common sense, saat ini sudah banyak muncul varian barang dan jasa yang sebenarnya tidak tepat masuk dalam kategori kebutuhan pokok.
Jenis-jenis tersebut tidak dikonsumsi atau dinikmati rakyat banyak. Penyebabnya, hanya bisa diakses sebagian kelompok saja. Contohnya beras dan daging yang memiliki banyak tipe dan kualitas.
“Ini yang membuat PPN [pajak pertambahan nilai] makin regresif karena justru pengecualian diberi pada barang-barang yang hanya bisa dibeli kelompok masyarakt tertentu,” katanya melalui diskusi virtual.
Beras dan daging masuk ke dalam 11 jenis sembako bebas PPN. Seperti diketahui, rentang harganya sangat timpang. Untuk daging contohnya, ada kualitas dikonsumsi masyarakat seharga puluhan ribu. Sementara itu, tipe premium dengan pangsa kelompok atas yang harganya mencapai jutaan rupiah.
Oleh karena itu, pemerintah berinisiatif merevisi Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP). Yustinus menjelaskan bahwa dua hal tersebut akan menjadi fokus dalam perubangan regulasi.
“Jadi di luar daging dan beras kami lihat belum ada urgensi untuk mengatur secara berbeda. Karena dua varian ini yang kita temukan dispasritas atau gap cukup lebar,” jelasnya.
Baca Juga
Meski begitu, Yustinus memastikan bahwa sampai saat ini pemerintah berkomitmen memberikan dukungan untuk sektor pangan.
Hal ini terbukti dari alokasi ketahanan pangan yang terus naik baik dari sisi kualitas dan kuantitas. Bahkan, tahun ini anggarannya meningkat 23,8 persen dibandingkan tahun lalu yang salah satunya untuk dukungan food estate.
“Jadi sangat tidak beralasan sebenarnya dan tidak terbesit sedikitpun dalam benak pemerintah karena saya ikut menyusun RUU [rancangan undang-undang KUP] ini untuk bebankan pajak, terutama untuk kelompok masyarakat bawah atas barang-barang atau jasa yang dibutuhkan oleh masyarakat banyak,” ucapnya.