Bisnis.com, JAKARTA — Seluruh pemangku kepentingan industri perunggasan di Tanah Air harus mengantisipasi skenario terburuk dari berlanjutnya proses penyelesaian sengketa importasi ayam yang melibatkan Brasil dan Indonesia di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).
Kehadiran daging ayam ras impor hanya bisa dibendung jika industri di dalam negeri bekerja sama dalam efisiensi produksi.
Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan Oke Nurwan mengemukakan bahwa proses penyelesaian sengketa dengan Brasil akan memasuki tahap banding kepatuhan.
Langkah ini ditempuh setelah Negeri Samba menyatakan bahwa sejumlah regulasi Indonesia belum sesuai dengan keputusan oleh Badan Penyelesaian Sengketa (DSB). Proses banding sendiri sempat terhenti karena absennya Amerika Serikat dari panel selama kepemimpinan Donald Trump.
“Saat itu kita diuntungkan untuk mengulur waktu di panel banding karena salah satu panelis berasal dari Amerika Serikat. Sementara saat kepemimpinan Trump, Amerika keluar dari WTO. Namun, dengan waktu yang diulur pun kita tidak berbenah juga, di dalam negeri sendiri ribut,” kata Oke dalam Rembuk Perunggasan Nasional IX, Rabu (16/6/2021).
Dia menjelaskan bahwa Indonesia telah mengubah sejumlah peraturan tingkat menteri untuk memenuhi keputusan DSB. Total ada tujuh kebijakan Indonesia yang dinilai Brasil bertentangan dengan prinsip antiproteksi WTO yang tercantum dalam General Agreement on Tariff and Trade (GATT).
Baca Juga
Adapun aturan main yang dianggap menghambat impor Brasil antara lain daftar positif, persyaratan penggunaan, diskriminasi dalam persyaratan label halal, pembatasan transportasi impor, dan penundaan persetujuan persyaratan sanitasi.
Berdasarkan laporan panel yang diadopsi oleh DSB pada 22 November 2017 disebutkan bahwa Indonesia terbukti melanggar empat dugaan yang disampaikan Brasil yakni terkait aturan mengenai kesehatan, pelaporan realisasi mingguan importir, larangan perubahan jumlah produk, serta penundaan penerbitan sertifikat kesehatan. Sementara untuk tiga dugaan lain, Brasil dianggap gagal membuktikan ketentuan tersebut bertentangan dengan perjanjian WTO.
Dugaan tersebut mencakup diskriminasi persyaratan pelabelan halal, persyaratan pengangkutan langsung, pelarangan umum terhadap impor daging ayam dan produk ayam.
Dalam tahap banding kepatuhan, Oke mengatakan terdapat peluang Indonesia kembali harus menderita kekalahan. Artinya, Indonesia harus benar-benar membuka pasar untuk akses masuk ayam dari negara lain.
“Dalam skenario terburuk adalah kita kalah. Namun, apa yang ingin saya sampaikan, tolong di dalam negeri kita bergandengan tangan menguatkan pasar. Mari bareng-bareng jaga pasar dalam negeri karena saya harus membuka pasar Indonesia untuk negara lain.”
Dia mengatakan bahwa risiko masuknya ayam impor tidak hanya akan datang dari Brasil, tetapi juga dari negara-negara pihak ketiga yang mengawasi proses sengketa karena memiliki kepentingan. Negara-negara tersebut di antaranya adalah Amerika Serikat, Jepang, Korea Selatan, China, Vietnam, Australia, Qatar, Oman, dan Thailand.
“Intinya skenario terburuk pasar bakal dibuka. Kalau harga internasional lebih rendah dibandingkan dengan harga ayam di sini, maka ia akan masuk. Sementara saya tidak punya instrumen proteksi karena keputusan WTO harus mengubah regulasi yang ada,” kata Oke.
Dia mengatakan satu-satunya cara untuk membendung ancaman tersebut adalah dengan menjadikan pasar dalam negeri tidak menarik bagi produk serupa yang dihasilkan negara lain.
Demi menciptakan situasi pasar tersebut, dia mengatakan seluruh pemangku kepentingan harus bekerja sama mencari solusi jangka menengah dan panjang demi produksi unggas yang lebih berdaya saing.