Bisnis.com, JAKARTA — Kementerian Perindustrian terus berupaya menguatkan rantai pasok untuk industri refraktori sehingga dapat berdaya saing, baik di kancah domestik maupun global.
Adapun industri refraktori merupakan sektor padat modal yang perlu dipacu pengoptimalan bahan baku lokalnya seiring dengan implementasi kebijakan substitusi impor.
"Kebijakan pengembangan sektor industri pengolahan difokuskan pada penguatan rantai pasok untuk menjamin ketersediaan bahan baku serta energi yang berkesinambungan dan terjangkau sesuai amanat dalam Undang-Undang Nomor 3/2014 tentang Perindustrian," kata Direktur Jenderal Industri Kimia, Farmasi dan Tekstil (IKFT) Muhammad Khayam melalui siaran pers, Selasa (15/6/2021).
Khayam menjelaskan industri refraktori dinilai sebagai salah satu sektor strategis karena produksinya untuk menopang kebutuhan berbagai manufaktur lainnya.
Hasil dari industri refraktori ini umumnya digunakan sebagai pelapis untuk tungku, kiln, insinerator, dan reaktor tahan api pada industri semen, keramik, kaca, dan pengecoran logam.
Khayam optimistis, apabila industri refraktori ini tumbuh berkembang dan memiliki performa gemilang, akan mendukung kinerja sektor industri pengolahan nonmigas, khususnya kelompok industri bahan galian nonlogam.
Baca Juga
“Pada kuartal I/2021, kontribusi industri bahan galian nonlogam terhadap industri pengolahan sebesar 2,57 persen dan perkembangan nilai investasi industri bahan galian nonlogam mencapai Rp5,46 triliun," paparnya.
Melihat potensi tersebut, Khayam menegaskan, pihaknya bertekad untuk menciptakan iklim usaha yang kondusif melalui penerapan berbagai program dan kebijakan yang tepat sasaran. Tujuannya agar geliat sektor industri di tanah air dapat kembali bergairah di tengah gempuran dampak pandemi Covid-19.
Langkah yang perlu diakselerasi, antara lain mewujudkan rantai pasok industri refraktori yang solid dan mengoptimalkan tingkat kandungan dalam negeri (TKDN). Hal ini nantinya dapat membantu tercapainya target substitusi impor 35 persen pada 2022.
Saat ini, kebutuhan nasional terhadap produk refraktori mencapai 200.000-250.000 ton per tahun. Sementara itu, industri dalam negeri baru memasok kebutuhan tersebut sebesar 88.000 ton per tahun.
"Industri refraktori merupakan industri padat modal yang membutuhkan bahan baku dari sumber daya alam," kata Khayam.
Adapun saat ini, terdapat 30 perusahaan yang tergabung dalam Asosiasi Industri Refraktori dan Isolasi Indonesia (ASRINDO). Pemerintah bersama stakeholders akan bersama-bersama membangun iklim usaha yang kondusif sehingga industri refraktori ini bisa semakin kuat dan berdaya saing dengan produk impor.
Ketua Umum ASRINDO Basuki Sudarsono mengatakan produk jadi refraktori dibuat dari bahan baku dasar alumina dengan komposisi 95 persen impor dan hanya 5 persen yang menggunakan produk lokal. Sedangkan, produk refraktori bermerek global saat ini diimpor lebih dari 50 persen atau nilainya kurang lebih Rp2,2 triliun.
“Dengan adanya nota kesepahaman kami dengan PT Indonesia Chemical Alumina, merupakan bentuk komitmen bersama dalam upaya memasok bahan baku lokal. Diharapkan, upaya ini juga dapat menekan impor bahan baku refraktori dan menyukseskan program substitusi impor yang dicanangkan oleh pemerintah," kata Basuki.
Kemenperin mengapresiasi adanya penandatanganan Nota Kesepahaman antara ASRINDO dan PT ICA. Kedua belah pihak sepakat untuk menumbuhkan industri refraktori guna menekan bahan baku impor.
Selain itu, dalam kerja sama tersebut, akan memanfaatkan alumina hasil penelitian dan pengembangan PT ICA untuk meningkatkan daya saing industri refraktori di tanah air. Sinergi ini akan berlangsung selama satu tahun sejak MoU ditandatangani pada tanggal 11 Juni 2021 lalu.