Bisnis.com, JAKARTA - Masihkah ingat bagaimana bangganya Presiden Joko Widodo (Jokowi) melihat perusahaan nasional, melalui BUMN, mengambil alih pengelolaan aset blok minyak dan gas bumi?
"Blok Mahakam dulu dimiliki [dikelola perusahaan] Prancis dan Jepang, 100 persen sekarang kita berikan ke Pertamina. Blok Rokan dulu dikelola Chevron, Amerika Serikat, sekarang sudah diambil oleh Pertamina 100 persen juga," ungkap Kepala Negara, saat membuka Pendidikan Kader Ulama (PKU) MUI, Rabu (8/8/2018).
Klaim kebanggaan pemerintah terkait alih kelola blok migas dari perusahaan asing kepada BUMN, seharusnya tidak sekadar menjadi euforia sesaat.
Pasalnya, Sejak pekerjaan pertama Pertamina setelah alih kelola Blok Mahakam adalah menjaga laju penurunan alamiah produksi pada 2017 sebesar 57 persen.
Berdasarkan data Kementerian ESDM, produksi rata-rata migas pada Blok Mahakam pada saat pengalihan pengelolaan sebesar 52.000 BPOD (minyak dan kondesat) dan 1.351 MMSCFD (gas) per 2017.
Sementara itu, per 2020, produksi minyak di Blok Mahakam tercatat 29.691 BOPD dan gas bumi 558 MMSCFD. Dari data tersebut, tampak jelas kinerja produksi migas di Blok Mahakam terjun bebas.
Baca Juga
"Pengalaman mengelola Blok Mahakam memberikan wawasan bahwa investasi pada masa transisi sangat penting" ujar Direktur Hulu Pertamina yang saat itu Dharmawan Samsu, 16 Juli 2019.
Kinerja produksi migas dari Blok Mahakam yang merosot tajam dalam kurun tiga tahun terakhir, seakan membuat Pertamina "angkat tangan".
Melewati 2019, Pertamina telah mengebor 121 sumur, melampaui target awal sebanyak 118 sumur. Jumlah ini merupakan tertinggi dalam 7 tahun terakhir, dimana 2012 tercatat sebanyak 105 sumur yang dibor.
Selain itu, langkah Optimasi Pengembangan Lapangan-lapangan (OPLL) Pertamina Hulu Mahakam dilakukan.
Dalam kurun 2020 - 2022, Pertamina menyiapkan pemboran 257 sumur di 5 lapangan dengan biaya investasi mencapai $1.5 miliar.
Pertamina sadar betul bahwa mereka tidak sedang mengelola blok migas yang muda belia. Untuk itu, Pertamina mengharapkan ada dukungan "lain" dari pemerintah agar upaya menjaga eksistensi Blok Mahakam dapat terus dijalankan.
Sebenarnya, kabar bahwa Pertamina mengajukan insentif berupa penambahan split di beberapa wilayah kerja sudah terdengar sejak tahun lalu.
Penambahan split diusulkan Pertamina karena pengelolaan blok migas memerlukan akselerasi untuk menjaga keberlanjutan produksi.
Gayung bersambut, Menteri ESDM Arifin Tasrif pun memastikan bahwa pihaknya memberi menyetujui pemberian insentif untuk Blok Mahakam.
"Kami approval, masalahnya hal lain yang terkait kementerian lain terkait Kementerian Keuangan terkait permenkeu yang ada, kami harapkan dengan adanya insentif ini produksi bisa meningkat dan kemudian bagian pemerintah juga bisa meningkat," katanya dalam konferensi pers capaian kinerja sektor ESDM 2020 dan rencana kerja 2021, Kamis (7/1/2021).
Tanpa insentif, pengembangan wilayah kerja yang pernah selama 50 tahun dikelola oleh Total E&P ini bakal jauh dari keekonomian.
Dalam hitungan SKK Migas, tanpa insentif dalam pengelolaan Blok Mahakam akan mengurangi rencana kerja. Hal ini bakal terjadi, akibat upaya Pertamina meminimalisir arus kas negatif yang akan berdampak pada produksi dan nilai investasi.
Tanpa insentif, belanja modal Pertamina untuk Blok Mahakam berkisar US$0,9 miliar (cut of end-2023), sementara dengan insentif perseroan dapat mengguyur hingga US$4,2 miliar.
Selain itu, hadirnya insentif pun ikut mendorong aktivitas pengeboran di Mahakam. Skema tanpa insentif hanya dapat dilakukan 17 sumur hingga 2023, sementara dengan insentif bisa dilakukan hingga 540 sumur.
TIDAK EKONOMIS
Corporate Secretary PT Pertamina Hulu Energi (PHE) Whisnu Bahriansyah mengklaim bahwa Pertamina telah mengembangkan berbagai inovasi untuk mencapai optimasi operasi di Blok Mahakam.
Sebut saja seperti, teknik pengeboran rigless, arsitektur sumur yang lebih ringan, teknik SIBU, dan mengubah tekanan sumur. Menurutnya, upaya-upaya tersebut berhasil menurunkan biaya operasi hingga 40 persen.
Tahun lalu, Pertamina telah melakukan pengeboran 78 sumur pengembangan, sementara pada 2021 perseroan menargetkan pengeboran 73 sumur pengembangan.
"Pengajuan insentif ke Pemerintah ini tujuannya agar Pertamina sebagai operator tetap dapat memproduksi hidrokarbon dengan ekonomis sampai akhir masa kontraknya," ujarnya, saat dihubungi Bisnis, belum lama ini.
Pihaknya memperkirakan wujud insentif dari pemerintah akan dilakukan dengan penyesuaian kontrak bagi hasil.
Terkait perubahan kontrak bagi hasil, Deputi Operasi SKK Migas Julius Wiratno mengatakan karena pengelolaan Blok Mahakam menggunakan cost recovery maka seharusnya tidak ada perubahan bagian produksi antara operator dan pemerintah.
“PHM kan masih cost recovery, ya seharusnya komposisi bagi hasil [equity to split] masih sama,” tegasnya.
Hadirnya insentif tidak hanya ditunggu PHM, tetapi juga KKKS lainnya yang memerlukan akselerasi pengelolaan wilayah kerja. Dengan begitu, harapan menggeliatnya perekonomian semakin dekat dengan kenyataan.
Pasalnya, insentif akan mendorong aktivitas hulu migas. Dengan begitu, multiplier effect untuk industri penunjang bakal terjadi.
Menurut Staf Pengajar Universitas Trisakti Pri Agung Rakhmanto, sulit menemukan kondisi ideal di tengah dinamika sektor migas nasional yang trennya sedang menurun. Pri Agung mengatakan, pemerintah perlu mengakomodir kepentingan KKKS untuk mendukung peningkatan produksi.
"Sudah terlalu sulit kalau kita bicara ideal. Ini adalah konsekuensi yang harus ditanggung, atas kebijakan yang telah diambil," katanya.
Pemerintah pun diminta tidak setengah hati dalam mendukung kelangsungan industri migas.