Bisnis.com, JAKARTA — Enam belas tahun silam, pemerintah telah mempertimbangkan pembangunan dan pengembangan kilang minyak di dalam negeri dengan diterbitkannya Peraturan Presiden Nomor 146 Tahun 2015.
Setahun berselang, Peraturan Presiden Nomor 3 Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional, Komite Percepatan Penyediaan Infrastruktur Prioritas pun diterbitkan.
Beleid itu menyebutkan bahwa pembangunan kilang minyak akan dilakukan di Bontang, Kalimantan Timur, di Tuban, Jawa Timur, dan peningkatan kilang-kilang yang ada di Jawa Tengah, Riau, Sumatra Selatan, Jawa Barat, dan Kalimantan Timur.
Berdasarkan data PT Pertamina (Persero), proyek modernisasi kilang atau Refinery Development Master Plan (RDMP) meliputi empat proyek yakni RDMP Refinery Unit (RU) V Balikpapan, RDMP RU IV Cilacap, RDMP RU VI Balongan, dan RDMP RU II Dumai, RDMP RU III Plaju. Sementara itu, pembangunan kilang minyak dan petrokimia (grass root refinery/GRR) meliputi GRR Tuban dan GRR Bontang.
Pertamina mengakselerasi pembangunan megaproyek kilang ramah lingkungan tersebut dengan target rampung secara keseluruhan pada 2026.
Megaproyek RDMP dan GRR merupakan salah satu proyek strategis nasional dalam rangka mendukung kemandirian dan ketahanan energi nasional. Proyek ini akan meningkatkan kapasitas kilang pengolahan dari sekitar 1 juta barel saat ini, meningkat dua kali lipat menjadi 2 juta barel per hari.
Baca Juga
Produksi bahan bakar Pertamina juga akan meningkat tajam dari saat ini sebesar 600.000 barel per hari menjadi 1,7 juta barel per hari.
Kebutuhan bahan bakar minyak di dalam negeri memang diproyeksikan bakal terus meningkat seperti proyeksi yang dibuat oleh Dewan Energi Nasional.
Pada tahun lalu, kebutuhan BBM di dalam negeri berada pada kisaran 1,12 juta barel per hari dengan kapasitas pengolahan eksistis 641.000 barel per hari. Dengan demikian, terdapat impor BBM sebesar 381.000 barel per hari untuk mencukupi kebutuhan dalam negeri.
Satu dekade kemudian, DEN memproyeksikan kebutuhan BBM dalam negeri berada pada kisaran 1,55 juta barel per hari yang akan dipasok dari produksi kilang yang ada sebesar 641.000 barel per hari dan tambahan produksi dari kilang baru sebesar 532.000 barel per hari. Indonesia diproyeksikan sudah tidak lagi mengimpor BBM pada masa itu.
Pada 2040, kebutuhan BBM di dalam negeri bahkan diproyeksikan meningkat hampir dua kali lipat jika dibandingkan dengan kebutuhan pada 2020. Kebutuhan BBM pada 2040 berada pada kisaran 1,98 juta barel per hari.
Dengan dihentikannya impor gasoline dan diesel, penghematan devisa pemerintah sejak 2021—2040 diproyeksikan sebesar US$16,7 miliar per tahun. Namun, hal itu perlu upaya percepatan untuk meningkatkan kapasitas kilang melalui pembangunan satu kilang baru dan empat kilang pengembangan.
Baru-baru ini, Pertamina mengumumkan untuk membatalkan rencana peningkatan kapasitas pengolahan kilang menjadi 2 juta barel. Keputusan itu dibuat seiring dengan kajian tentang perkembangan kendaraan listrik dan energi baru terbarukan yang dibahas dengan pemerintah.
Pendiri Reforminer Institute Pri Agung Rakhmanto mengatakan bahwa dengan dinamika perkembangan sektor energi baik global maupun nasional yang ada, strategi dan kebijakan pemenuhan kebutuhan energi nasional perlu dikaji ulang.
"Tepat atau tidaknya, tidak dapat kita katakan sekarang. Semua bergantung pada skenario dan arah kebijakan energi kita sekarang dan ke depannya akan seperti apa," katanya kepada Bisnis, Selasa (8/6/2021).
Menurut dia, pemerintah perlu meninjau kembali proyeksi permintaan dan pasokan energi nasional ke depan yang sudah digariskan dalam Kebijakan Energi Nasional. Dinamika itu muncul dari upaya yang didorong pemerintah melalui kendaraan listrik dan industri baterai, PLTS yang akan mempengaruhi pasokan dan permintaan energi ke depannya.
Di samping itu, pemerintah perlu merevisi perpres Presiden terkait dengan status proyek kilang sebagai PSN apabila memang direstui.
"Iya [direvisi]. Kalau disetujui pemerintah untuk diubah ya, berarti seperti itu konsekuensinya. Termasuk juga dokumen KEN," ungkapnya.
Pengamat ekonomi energi Universitas Gadjah Mada Fahmy Radhi berpendapat bahwa untuk mencapai 2 juta barel per hari tidak mungkin hanya menggunakan kilang yang ada, yang mayoritas sudah tua.
Mau tidak mau, Pertamina harus membangun kilang baru. Namun, hingga sekarang belum ada kepastian Pertamina mampu membangun kilang baru.
"Kalau Pertamina gagal mencapai 2 juta barel per hari, impor BBM semakin membengkak hingga target mengurangi impor BBM pada 2030 tidak akan pernah tercapai," katanya kepada Bisnis, Selasa (8/6/2021).