Bisnis.com, JAKARTA — Kinerja sektor hulu minyak dan gas bumi (migas) pada tahun ini dan pada tahun depan dapat dikatakan kurang bergairah. Pada 2021, capaian kinerja produksi bahkan diproyeksikan bakal mencapai di bawah target, sedangkan di tahun depan tidak ada peningkatan target produksi.
Direktur Eksekutif Asosiasi Perusahaan Migas Nasional (Aspermigas) Moshe Rizal berpendapat, pada saat ini industri hulu migas masih pada fase berhati-hati untuk investasi, meski kondisi mulai membaik, tapi gelombang pandemi masih terus menghantui.
Menurut dia, pada saat ini tidak ada insentif apapun yang dapat mengkompensasi kondisi yang terjadi.
"Yang terpenting adalah mempersiapkan nanti bila pandemi berlalu, insentif apa yang akan ditawarkan ke investor," katanya kepada Bisnis, Kamis (27/5/2021).
Moshe menambahkan, pemerintah dapat menyiapkan insentif berupa tax holiday, renegoisasi split, insentif assume and discharge yang dikembalikan. Selain itu, untuk lapangan baru, pemerintah mempersiapkan data yang lebih banyak lagi dengan membiayai seismik atau survey subsurface aerial atau satelite, sehingga hal itu bisa menjadi salah satu insentif juga yang akan mengurangi risiko eksplorasi.
"Lapangan yang ada saat ini harus ditingkatkan produksinya atau ditekan penurunan produksinya dengan menggunakan teknologi tambahan seperti waterflooding dan EOR, pengembangan atau eksplorasi lapangan baru harus juga terlaksana dan ditingkatkan setelah pandemi nanti dimana kondisi ekonomi dunia lebih pasti," jelasnya.
Sementara itu, Direktur Executive Energy Watch Mamit Setiawan menilai penetapan target lifting yang stagnan pada tahun depan masih merupakan upaya yang baik mengingat realisasi dari tahun ke tahun terus menurun.
Mamit menuturkan, hal tersebut menjadi tantangan tersendiri dalam industri hulu migas Tanah Air di tengah kondisi lapangan yang sudah tua dan penurunan produksi secara alami. Namun kondisi itu jauh lebih baik karena harga minyak dunia yang perkirakan akan cukup bagus dan jauh lebih baik di bandingkan dengan 2020.
Dengan demikian, potensi untuk meningkatkan kegiatan pengeboran, work over, well service dan kegiatan penunjang lain untuk menjaga decline rate seperti EOR bisa dilakukan. Selain itu, untuk mengejar target 1 juta barel per hari dan 12 TSCF pada 2030, maka kegiatan explorasi wajib ditingkatkan.
"Insentif fiskal saya kira menjadi keharusan agar beban dari KKKS bisa sedikit berkurang. Perlu ada kebijakan fiskal yang jelas sehingga investor bisa terus mau berinvestasi. Selain itu, kebijakan perbankan dalam mendorong industri migas dalam negeri dengan memberikan pinjaman bunga rendah juga perlu dilakukan," katanya kepada Bisnis, Kamis (27/5/2021).
Sebelumnya, Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi memproyeksikan kinerja produksi siap jual atau lifting minyak pada tahun depan masih belum terlalu bergairah. Kerja keras untuk menjaga laju penurunan produksi masih menjadi fokus utama pada 2022.
Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto menjelaskan, pada 2022 prognosa untuk lifting minyak dan gas bumi sebesar 1,73 barel minyak ekuivalen per hari (BOEPD). Adapun untuk lifting minyak adalah sebesar 704.000 BOPD, sedangkan lifting gas bumi adalah sebesar 1.036 MMscfd.
Dwi mengatakan prognosa lifting migas pada tahun depan meningkat tipis dibandingkan dengan target APBN 2021 sebesar 1,71 juta BOEPD. Prognosa lifting minyak lebih rendah dibandingkan dengan target APBN 2021 sebesar 705.000 BOPD, sedangkan prognosa lifting gas bumi meningkat tipis dibandingkan dengan target APBN 2021 1.007 MMscfd.
"Semangatnya masih semangat kerja keras semangat upaya tidak lagi decline," katanya dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi VII DPR, Kamis (27/5/2021).