Bisnis.com, JAKARTA – Pemerintah perlu lebih dari sekadar jemput bola untuk memperkuat posisi Indonesia dalam menarik investasi asing dan meningkatkan perdagangan luar negeri.
Pembenahan di dalam negeri tetap perlu jadi fokus yang dilakukan secara stimulan.
Kunjungan pemerintah dalam beberapa waktu terakhir ke mitra dagang utama sejatinya mendapat apresiasi dari dunia usaha. Strategi tersebut dipandang telah tepat, bahkan pemerintah diminta lebih agresif.
Awal April, Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi mengumumkan hasil kunjungannya dari China bersama Menteri Luar Negeri Retno Marsudi dan Menteri BUMN Erick Thohir. Indonesia dan China mengunci kesepakatan dagang dan investasi senilai US$1,38 miliar.
Enam perusahaan China berkomitmen mengimpor sarang burung walet, porang, nanas, dan furnitur. Ada pula investasi di sektor furnitur dari Shandong Jinruyi Group yang diperkirakan bisa menyerap 3.000 tenaga kerja.
Ada pula dialog dengan Duta Besar Perwakilan Perdagangan Amerika Serikat (USTR) Katherine Tai yang baru saja dilantik. Keduanya membahas soal upaya penguatan perdagangan dan investasi kedua negara.
Baca Juga
Pada 2020, AS menjadi salah satu negara penyumbang surplus dagang terbesar bagi Indonesia dengan nilai US$10,04 miliar. Negara tersebut juga berjejer di deretan 10 besar investor asing di Indonesia.
“Kami minta mendukung pemerintah lebih agresif untuk mendekati mitra-mitra dagang dan investasi strategis agar Indonesia lebih dikenal dan lebih dilirik,” kata Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bidang Hubungan Internasional Shinta W. Kamdani, Minggu (11/4/2021).
Meski strategi ini juga kerap dipakai emerging markets lainnya untuk menarik peningkatan perdagangan dan menarik investasi, Shinta mengatakan strategi tersebut tidak bisa berjalan sendiri. Terlebih di tengah target ambisius menaikkan ekspor di atas 5 persen dan menahan laju pertumbuhan impor tidak lebih dari 2 persen demi mengejar pertumbuhan ekonomi 5,5 persen tahun ini.
Shinta berpendapat perlu ada implementasi konkret dari Undang-Undang Cipta Kerja dan keberlanjutan reformasi struktural di dalam negeri, terutama berkaitan dengan rantai pasok domestik, keahlian tenaga kerja, dan dukungan untuk mengadopsi teknologi termutakhir.
Tanpa diikuti strategi tersebut, Shinta menyebutkan upaya menekan impor tak tumbuh lebih dari 2 persen bakal sulit. Seandainya pertumbuhan impor ditekan, Shinta mengatakan produktivitas dan efisiensi industri dalam negeri akan menjadi taruhannya.
“Kontraksi impor tahun lalu saja rata-rata sebesar 14 sampai 16 persen per bulan. Kalau Indonesia pulih sepenuhnya dari pandemi, diperkirakan impor akan naik sebesar persentase tersebut. Kalau mau ditekan menjadi 2 persen, produktivitas dan efisiensi supply chain domestik harus dibenahi secara besar-besaran,” lanjutnya.
Dia memperkirakan pembenahan efisiensi rantai pasok dalam negeri setidaknya memerlukan 3 sampai 5 tahun agar industri domestik bisa melakukan substitusi impor. Pada saat yang sama, dia menyebutkan upaya pengembangan ekspor masih belum maksimal dan terbatas pada dominasi segelintir komoditas.
Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi dalam paparannya di Industry Talks: Peran Asosiasi dalam Mendorong Pemulihan Ekonomi Pasca Covid-19 menyebutkan 3 komoditas yang akan menjadi fokus Kementerian Perdagangan dalam mengejar pertumbuhan perdagangan, investasi, dan pertumbuhan UMKM.
Tiga komoditas tersebut mencakup produk besi dan baja, otomotif dan bagiannya, serta perhiasan. Tiga kelompok produk ini masuk jajaran 10 besar penyumbang nilai ekspor nonmigas pada 2020.
“Kalau kita lihat yang 10 besar hampir setara dengan 60 persen ekspor nonmigas. Dari 10 [kelompok barang] itu saya ingin garis bawahi tiga hal yang paling penting dan menjadi modus operandi dari pada investasi, perdagangan, dan pergerakan UMKM,” kata Lutfi.
Lutfi memberi contoh bagaimana investasi di industri besi dan baja berhasil membawa pertumbuhan ekspor komoditas tersebut mencapai 46,8 persen pada 2020 dibandingkan dengan 2019. Ekspor besi dan baja tercatat hanya berada di angka US$1,83 miliar pada 2016 dan mencapai US$10,85 miliar pada 2020.
Lutfi mengatakan hal ini tidak lepas dari kerja sama POSCO dan Krakatau Steel yang juga diikuti dengan investasi nikel di Morowali, Sulawesi Tengah.
Lutfi menyampaikan pula keberhasilan investasi industri otomotif yang dilakukan Jepang pada 2010-2011 dengan nilai mencapai US$10 miliar untuk peningkatan produksi di dalam negeri. Hasilnya, ekspor kendaraan bermotor Indonesia konstan naik dalam kurun 2016 sampai 2019.
Dia memastikan pula bahwa Indonesia bakal mengekspor mobil ke Australia di bawah payung Indonesia-Australia CEPA seiring dengan diplomasi yang tengah gencar dilakukan ke perusahaan otomotif Jepang.
“Ini cerita indah investasi, orang datang untuk investasi dan membuat Indonesia pusat produksi kemudian menjadi primadona dari pada ekspor nonmigas,” kata Lutfi.
Perhiasan menjadi produk selanjutnya yang akan ditingkatkan ekspornya. Tetapi, dia mengatakan ekspor perhiasan belum optimal lantaran baru menyasar segelintir negara sebagai destinasi utama. Sebagai contoh, 36 persen ekspor perhiasan dikirim ke Singapura dan 28 persen dikirim ke Swiss.
Ketiadaan perjanjian dagang dengan pasar strategis lain menjadi hambatan terbatasnya pasar produk perhiasan, padahal industri ini dijalankan oleh usaha mikro dan kecil menengah.
“Negara-negara ini adalah negara transit barang-barang tersebut. Kita tidak langsung kirim ke negara pembeli. Contohnya saat ekspor ke Negara Teluk ekspornya ada pajak 5 persen. Namun karena Singapura punya perjanjian perdagangan dengan Uni Emirat Arab, jadi harganya lebih murah 5 persen. Hasilnya importir dari Singapura bisa menekan harga pelaku UMKM kita dan menikmati nilai tambah ke Negara Teluk,” kata Lutfi.