Bisnis.com, JAKARTA - Kemarahan China pada Hennes & Mauritz AB (H&M) dan merek lain yang menolak menggunakan kapas dari Xinjiang akan berlalu, tetapi bisnis akan terus menghadapi risiko dari masalah politik.
"Anda benar-benar harus membiarkannya terjadi, merendahkan diri dan melihat kapan angin itu bertiup dan kemudian kembali lagi," kata Kepala Kamar Dagang Uni Eropa di China, Joerg Wuttke, dilansir Bloomberg, Selasa (30/3/2021).
Pengguna media sosial China memulai seruan untuk memboikot H&M minggu lalu setelah menemukan pernyataan tak bertanggal dari perusahaan yang mengatakan tidak akan menggunakan kapas dari wilayah paling barat Xinjiang karena masalah kerja paksa.
Peritel tersebut dikritik oleh Liga Pemuda Komunis dan Tentara Pembebasan Rakyat, menyusul menghilangnya outlet tersebut dari penelusuran Apple Maps dan Baidu Maps. Beberapa toko H&M di kota-kota kecil ditutup oleh pemilik lahan.
Sementara itu, merek Barat lainnya seperti Nike Inc. dan Adidas AG telah memancing kemarahan konsumen atas janji mereka untuk tidak menggunakan kapas Xinjiang. Wilayah ini memasok sekitar 80 persen material untuk China.
AS dan beberapa negara Barat lainnya menuduh China menahan hingga 1 juta Muslim Uighur di kamp kerja paksa dan memaksa sekitar 500.000 anak-anak tinggal di sekolah asrama.
Baca Juga
China membantah tuduhan tersebut, dengan mengatakan pihaknya memerangi ekstremisme agama dan menawarkan pekerjaan serta pendidikan untuk meningkatkan kehidupan.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri China Hua Chunying menghindari pertanyaan apakah pemerintah berada di balik boikot H&M dan perusahaan lain selama konferensi pers di Beijing.
"Beberapa netizen China telah mengungkapkan kemarahan mereka atas kapas Xinjiang, termasuk pada H&M. Konsumen China memiliki kebebasan memilih," ujarnya.
Daftar panjang perusahaan asing mendapat masalah di China karena menyinggung kepekaan politik Partai Komunis yang berkuasa. Adapun, China Central Television berhenti menayangkan pertandingan National Basketball Association selama lebih dari setahun karena seorang eksekutif dari satu tim menunjukkan dukungan untuk pengunjuk rasa di Hong Kong.
China menghantam Uni Eropa dengan sanksi pembalasan atas masalah Xinjiang minggu lalu. Negara itu menghukum 10 individu dan empat entitas di UE, termasuk Mercator Institute of China Studies di mana Wuttke adalah anggota dewan.
Wuttke mengatakan sementara perusahaan telah berjuang untuk melawan dampak ekonomi dari pandemi sepanjang tahun lalu, pada saat yang sama ada tekanan politik semacam ini.
"Serangan balasan dapat merusak Beijing dalam jangka panjang karena itu membahayakan pekerjaan China," katanya.