Bisnis.com, JAKARTA - Dari provinsi terbesar di barat laut daratan China, persoalan rantai pasok kapas dan tekstil dunia membentang dan terikat pada benang merah isu besar hak asasi manusia etnis Uighur di Xinjiang.
Kisruh bertahun-tahun soal pelanggaran HAM dan kerja paksa di Xinjiang memuncak pekan lalu saat pengusaha lokal secara serentak menutup gerai peritel global di China. Pangkalnya adalah seruan keprihatinan dari kantor pusat merek-merek besar seperti H&M, Nike Inc., Adidas, New Balance, dan Uniqlo, mengenai situasi ketenagakerjaan di Xinjiang.
Hal itu merupakan bukti bahwa perusahaan-perusahaan asing yang beroperasi di China tak bisa lepas dari kepungan geopolitik dan tekanan dari Beijing untuk tidak ikut campur terhadap HAM, lingkungan, sosial, dan tata kelola negara itu.
Meskipun perusahaan Barat dan Asia telah sering menjadi sasaran nasionalisme China selama bertahun-tahun, kekacauan terbaru menandakan perubahan dalam strategi oleh pemerintah Presiden Xi Jinping saat menghadapi pendekatan terbaru AS dan sekutunya.
Xi Jinping menyerang balik dengan mengancam akan membatalkan kesepakatan investasi antara China dan Uni Eropa. Selain itu, pejabat China menyerang Barat minggu lalu dengan mengungkap daftar kegagalan dari Nazisme dan kolonialisme di Invasi Eropa ke Jepang untuk perang AS di Irak.
China juga menerbitkan laporan tahunan ke-22 yang mengkritik cara AS menangani hak asasi manusia yang menyertakan skandal rasisme George Floyd beberapa waktu lalu.
"Di bawah Xi, China tampaknya telah mengadopsi mantra bahwa lebih baik ditakuti daripada disukai,” kata Ryan Hass, rekan senior di Brookings Institution, dilansir Bloomberg, Senin (29/3/2021).
Retorika yang lebih agresif, tambahnya, adalah bagian dari strategi untuk membangun penerimaan terhadap pandangan bahwa demokrasi bukanlah ideologi universal dan tidak memiliki jawaban atas tantangan abad ke-21.
Beijing telah menggambarkan reaksi internasional sebagai konspirasi strategis dan upaya untuk mengganggu China. Negara itu menuntut bukti nyata bahwa kamp-kamp itu digunakan untuk kerja paksa.
Di sisi lain, Sheng Lu, seorang profesor di departemen studi mode dan pakaian di Universitas Delaware, mengatakan perusahaan mode AS sangat serius dalam menanggapi isu ketenagakerjaan. Hal itu mempengaruhi ekspor tekstil dari China tahun lalu. "Pada 2020, ekspor tekstil katun dan pakaian katun China ke AS turun hampir 40 persen," katanya diwartakan South China Morning Post.
Pada saat yang sama, Kongres AS berusaha untuk mengesahkan Undang-Undang Pencegahan Kerja Paksa Uighur, yang secara efektif akan melarang semua impor dari Xinjiang kecuali importir dapat membuktikan bahwa mereka tidak terkait dengan kerja paksa.
Perusahaan dan kelompok industri, termasuk Nike dan Gap, telah melobi Kongres agar tidak mengesahkan RUU tersebut. Pada Desember, Uni Eropa menyetujui perjanjian investasi besar-besaran dengan China yang menurut para kritikus hanya memberikan basa-basi untuk dugaan pelanggaran hak asasi manusia di Xinjiang.
Hingga saat ini, UE belum mengeluarkan larangan apa pun atas barang-barang yang dibuat di Xinjiang, tetapi setelah menjatuhkan sanksi hak asasi manusia pertamanya pada pejabat China minggu ini, ada tekanan pada Brussel untuk berbuat lebih banyak.
"Kami sudah siap untuk sanksi apa pun dari AS. Apa yang kami khawatirkan adalah bahwa Eropa akan mengikutinya, dan dampaknya akan lebih besar dari itu," kata Wang, seorang manajer pabrik di Xinjiang.
Catatan menunjukkan betapa berpengaruhnya Xinjiang dalam rantai pasokan global, termasuk UE dan AS. Data bea cukai China menunjukkan bahwa hampir semua impor pulp kayu kimia terlarut Xinjiang berasal dari Finlandia, yang perdana menterinya pada Februari menuduh Xinjiang melakukan kekejaman terhadap etnis minoritas.
Pulp senilai US$ 68 juta, merupakan impor terbesar ke-10 Xinjiang tahun lalu. Sejak 2017, perusahaan Finlandia telah menghasilkan US$367 juta dari penjualan pulp ke Xinjiang.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres mengatakan pihaknya sedang dalam negosiasi dengan Beijing untuk kunjungan tanpa batasan ke Xinjiang guna melihat bagaimana minoritas Uighur diperlakukan.
"Negosiasi serius saat ini sedang berlangsung antara Kantor Komisaris (Hak Asasi Manusia PBB) dan pemerintah China. Saya berharap mereka segera mencapai kesepakatan untuk mengizinkan kunjungan tanpa batasan," ujarnya.
Guterres mengatakan China telah berulang kali menegaskan kepadanya bahwa mereka ingin misi itu berlangsung. Adapun, pakar rantai pasokan mengatakan menjadi tidak mungkin untuk melakukan audit yang efektif terhadap kondisi ketenagakerjaan di Xinjiang karena pekerja Uighur tidak dapat berbicara terus terang kepada pengawas luar mana pun.
Shi Yinhong, Direktur Pusat Studi Amerika di Universitas Renmin di Beijing mengatakan sementara China menyadari tidak mungkin untuk membungkam kritik dari Barat dengan melawan, sikapnya yang lebih agresif terutama untuk menunjukkan kepada audiens domestik bahwa Partai Komunis adalah pembela kepentingan China yang paling gigih," kata
"Jadi tuduhan akan terus berlanjut, dan ini bisa mendorong China dan AS, dan bahkan China dan Barat, semakin menjauh," ujarnya.