Bisnis.com, JAKARTA - Skema pembagian beban atau burden sharing antara Pemerintah dan Bank Indonesia untuk memenuhi pembiayaan APBN tahun anggaran 2021 dinilai masih dibutuhkan.
Sebagaimana diketahui, pemerintah memperkirakan alokasi anggaran untuk program pemulihan ekonomi nasional (PEN) 2021 sebesar Rp691 triliun, naik dari rencana sebelumnya Rp403,9 triliun.
Kementerian dan Lembaga (K/L) pun tengah melakukan realokasi anggaran untuk memenuhi kebutuhan anggaran program PEN tersebut sekitar Rp300 triliun.
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad mengatakan penambahan anggaran pada program PEN akan menyebabkan terjadinya beberapa risiko pada pengelolaan fiskal.
Pertama, realokasi anggaran K/L menurutnya bukanlah upaya yang mudah karena masing-masing K/L harus memenuhi indikator kinerja output (IKO) sehingga sulit untuk menurunkan proporsi anggaran.
Namun jika realokasi tidak dilakukan, berisiko pada defisit APBN. Defisit APBN 2021 yang telah ditetapkan sebesar 5,7 persen atau Rp1.006,4 triliun berpotensi semakin melebar.
Baca Juga
"
“Ketika anggaran diminta dikurangi tetapi tidak terjadi, otomatis defisit anggaran akan jebol lagi. Kita akan menambah defisit lagi jika K/L tidak mau mengurangi anggarannya,” kata Tauhid, Minggu (7/2/2021).
Kedua, pemerintah akan menggenjot penerimaan pajak pada tahun ini sebagai konsekuensi dari pembiayaan anggaran PEN yang meningkat.
Pemerintah dinilai akan berupaya mencari peluang-peluang untuk meningkatkan penerimaan pajak, termasuk penerimaan negara bukan pajak.
Dengan demikian, menurutnya, jika kebutuhan pembiayaan APBN 2021 mencapai Rp1.000 triliun dan harus dipenuhi dengan utang, peran Bank Indonesia (BI) melalui skema burden sharing dengan pemerintah untuk pembelian Surat Berharga Negara (SBN) tetap dibutuhkan tahun ini.
“Mau tidak mau burden sharing dengan BI masih akan dilakukan, ini tuntutannya. Katakanlah kalau BI menolak secar halus, apakah ada pilihan lain? Ini yang berat,” tuturnya.