Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Ekonomi RI Minus 2,07 Persen di 2020, Ekonom: Pemerintah Gagal Kendalikan Pandemi

Kebijakan New Normal yang dipaksakan terbukti blunder, disatu sisi ada dorongan agar masyarakat bisa beraktivitas dengan protokol kesehatan, tapi PSBB jalan terus operasional berbagai jenis usaha dibatasi.
Suasana sepi terlihat di salah satu pusat perbelanjaan atau mal saat libur Natal dan Tahun Baru di Depok, Jawa Barat, Minggu (27/12).  /Bisnis-Himawan L Nugraha
Suasana sepi terlihat di salah satu pusat perbelanjaan atau mal saat libur Natal dan Tahun Baru di Depok, Jawa Barat, Minggu (27/12). /Bisnis-Himawan L Nugraha

Bisnis.com, JAKARTA – Pemerintah dinilai gagal mengendalikan pandemi Covid-19 karena masyarakat masih menahan konsumsinya.

Hal ini tercermin dalam angka pertumbuhan ekonomi pada kuartal ke IV yang terkontraksi -2,19% (yoy) atau -2,07% full year 2020.

Ekonom Indef Bhima Yudhistira mengatakan kelompok pengeluaran menengah dan atas berperan hingga 83% dari total konsumsi nasional.

“Untuk memulihkan permintaan kelompok ini kuncinya adalah penanganan pandemi, hal ini yang tidak dijalankan dengan baik oleh pemerintah,” ujarnya dalam catatannya yang diterima Bisnis, Jumat (5/2/2021).

Kebijakan New Normal yang dipaksakan terbukti blunder, disatu sisi ada dorongan agar masyarakat bisa beraktivitas dengan protokol kesehatan, tapi PSBB jalan terus operasional berbagai jenis usaha dibatasi.

“Ini kebijakan abnormal,” tegas Bhima. Kebijakan yang maju mundur membuat kepercayaan konsumen jadi turun.

“Ada vaksin, ada new normal tapi kenapa ada PPKM? Kenapa kasus harian masih tinggi? Ini jadi pertanyaan di benak konsumen.”

Meskipun ada vaksinasi yang mulai mengangkat optimisme pelaku usaha dan konsumen di akhir tahun 2020, tapi timbul pesimisme terkait jenis vaksin yang dan masalah kecepatan distribusi vaksin yang butuh waktu tidak sebentar.

Selain itu, dia melihat kembali diberlakukannya PPKM jilid I menggerus kepercayaan konsumen lebih dalam.

“Jadi optimisme pemulihan ekonomi yang lebih cepat dipangkas sendiri oleh kebijakan pemerintah.” 

Di sisi lain, Bhima melihat stimulus PEN kurang efektif karena ada perencanaan yang keliru sejak awal.

Masalah utama adalah kurangnya suport pada sisi demand policy, yakni perlindungan sosial (Rp220,3 triliun) dan realisasi belanja kesehatan (Rp63,5 triliun) yang masih lebih kecil dibandingkan stimulus lain misalnya untuk pembiayaan korporasi (Rp60,7 triliun), insentif usaha (Rp56,1 triliun), sektoral K/L dan Pemda (Rp66,5 triliun) dan insentif UMKM (Rp112 triliun).

“Idealnya pemerintah mendorong sisi permintaan [demand side policy] dibanding fokus pada sisi penawaran [supply side policy],” ungkap Bhima.

Jika permintaan belum terdorong dengan belanja pemerintah, maka percuma memberikan banyak keringanan bagi pelaku usaha. Dia menekankan masalah utama ada di sisi lemahnya demand.

Ke depannya, dia menilai pola-pola penyerapan anggaran pemerintah harus diubah. Pada awal tahun 2021, pemerintah pusat dan pemda segera lakukan pengadaan barang dan jasa lebih cepat.

“Jangan anggaran dicairkan di akhir tahun, bahkan beberapa pemda enjoy parkir dana di bank daerah.” Praktik ini menghambat efektivitas belanja pemerintah untuk pemulihan ekonomi termasuk di daerah.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Hadijah Alaydrus
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper