Bisnis.com, JAKARTA – Kementerian Perhubungan (Kemenhub) membeberkan sejumlah alasan dimulainya pembangunan elektrifikasi relasi Yogyakarta–Solo di luar operasi kereta rel listrik (KRL) saat ini di wilayah Jabodetabek.
KRL Yogya–Solo ini menggantikan operasi kereta api Prambanan Ekspress atau Prameks yang bergerak dengan mesin diesel sejak 1994. Pembangunanya juga menjadi rencana induk kereta api dengan penggunaan energi listrik sebagai penggerak efektif efisien dan ramah lingkungan.
Dirjen Perkeretaapian Kemenhub Zulfikri mengatakan wilayah Yogyakarta dan Solo menjadi wilayah aglomerasi dengan populasi penduduk hampir 10 juta. Potensinya berasal dari para mahasiswa hingga wisata yang menjadikannya sebagai kota aglomerasi.
Menurutnya dengan karakteristik tersebut, KRL Yogyakarta–Solo memiliki tingkat permintaan yang cukup bagi penduduknya untuk menggunakan transportasi tersebut. Kemudian, alasan teknis yakni kedua wilayah ini sudah memiliki jalur ganda yang bisa dimanfaatkan karena kapasitasnya masih besar.
“Selain itu kapasitas finansial pemerintah juga memang terbatas sehingga satu per satu dulu dengan Yogyakarta–Solo menyusul daerah lainnya,” ujarnya, Selasa (19/1/2021).
Zulfikri mengatakan pada tahap awal elektrifikasi relasi ini, akan memanfaatkan frekuensi yang lebih dulu ada yakni dengan KA prameks untuk diganti kereta listrik. Selain itu perubahan juga dilakukan untuk sistem tiket secara elektronik.
Baca Juga
Dia menuturkan selama masa operasinya hingga kini, Prameks telah mengalami perpanjangan jalur hingga Kutoarjo. Selain itu dengan tarif terjangkau, hasil studi Kemenhub memproyeksikan adanya peningkatan penumpang yang signifikan sepanjang tahunnya.
Bahkan sebelum membangun KRL relasi ini, potensi penumpang pada 2021 mencapai 6 juta dan hingga 2035 mencapai 26 juta.
Dengan demikian, harapnya, KRL ini akan melayani penumpang tak hanya dari yang sebelumnya berasal dari prameks tetapi juga mampu menampung bangkitan baru dari pertumbuhan wisata di kedua wilayah tersebut.