Bisnis.com, JAKARTA — Sebanyak 15,5 gigawatt rencana tambahan pembangkit listrik berpotensi dikeluarkan dari Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik 2021—2030 seiring dengan turunnya asumsi pertumbuhan konsumsi listrik akibat dampak pandemi Covid-19.
Saat ini, draf RUPTL 2021—2030 masih dibahas dan ditargetkan dapat selesai pada akhir Januari 2021.
Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Rida Mulyana mengatakan bahwa dalam draf RUPTL 2021—2030, asumsi pertumbuhan konsumsi listrik selama 10 tahun ke depan dipatok pada kisaran 4,9 persen.
Angka ini turun dari asumsi awal pada RUPTL sebelumnya yang dipatok pada kisaran 6,4 persen.
"Berkaca dari kasus pada 2020 akibat covid, pemulihan ekonomi seperti apa, tidak ada yang tahu kapan covid berakhir. Kami bersepakat dengan PLN ambil sikap agak moderat dalam menetapkan pertumbuhan listrik 10 tahun ke depan mulai 2021 ini 4,9 persen. Yang tadi awalnya 6,4 persen," ujar Rida dalam konferensi pers virtual, Rabu (13/1/2021).
Akibat dampak pandemi Covid-19 ini, kata Rida, tertundanya sejumlah rencana penambahan pembangkit dan pun tak terhindarkan.
Baca Juga
Setidaknya ada sekitar 15,5 GW rencana penambahan pembangkit dalam 10 tahun ke depan akan dikeluarkan dari RUPTL 2021—2030 atau mengalami pergeseran waktu beroperasi secara komersial. Sebelumnya, dalam RUPTL 2019-2028 total rencana penambahan pembangkit mencapai 56,4 GW.
Pengurangan kapasitas pembangkit tersebut kemudian dialihkan pada pembangunan jaringan transmisi sehingga untuk memenuhi kebutuhan listrik tidak perlu menambah pembangkit baru.
Adapun dari 15,5 GW pembangkit yang berpotensi dimundurkan tersebut termasuk di dalamnya merupakan megaproyek 35.000 megawatt (MW). Menurut Rida, kebanyakan proyek 35.000 MW yang dimundurkan merupakan proyek yang dikembangkan oleh PT PLN (Persero).