Bisnis.com, JAKARTA – Pemerintah selalu mengklaim bahwa Undang-Undang 11/2020 tentang Cipta Kerja berupaya memberikan kepastian hukum dan kemudahan dengan adanya standar khususnya terkait dengan persyaratan dan proses perizinan berusaha.
Adapun, tujuannya untuk menghindari terjadinya penyimpangan dalam proses perizinan berusaha.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan bahwa produk hukum yang diundangkan 2 November lalu ini melakukan perubahan paradigma dan konsepsi perizinan berusaha dengan melakukan penerapan perizinan berusaha berbasis risiko (risk based approach).
“Pendekatan perizinan berbasis izin [license base] diubah ke berbasis risiko [risk based],” katanya pada diskusi yang dikutip melalui keterangan pers, Rabu (23/12/2020).
Airlangga menjelaskan bahwa penerapan perizinan berusaha berbasis risiko menimbulkan konsekuensi dan perubahan paradigma dalam pengawasan.
Semula, pengawasan lebih berfokus kepada pemenuhan persyaratan administrasi dalam mendapatkan izin. Hal ini menimbulkan beban administrasi dan birokrasi yang sangat tinggi.
Baca Juga
Dengan penerapan berbasis risiko, pengawasan lebih dititikberatkan pada pelaksanaan kegiatan usaha untuk memenuhi standar dan persyaratan suatu kegiatan. Berdasarkan hasil pengawasan tersebut, jika terjadi penyimpangan atau pelanggaran maka akan dikenakan sanksi secara ketat.
Perubahan konsepsi perizinan yang krusial lainnya adalah adanya NSPK atau norma, standar, prosedur, dan kriteria yang mengatur jenis perizinan, standar, syarat, prosedur, dan jangka waktu penyelesaian. Semuanya ditetapkan pemerintah pusat dan berlaku secara nasional.
Berbagai perubahan yang dilakukan dalam UU Cipta Kerja, tambah Airlangga, tidak hanya untuk peningkatan ekosistem investasi dan kemudahan berusaha, tetapi juga dalam kepastian perlindungan pekerja.
“Hal ini telah mendapat sentimen postif dan apresiasi dari lembaga internasional seperti World Bank, Fitch Ratings, dan Moody’s, serta dianggap sebagai reformasi besar yang menjadikan Indonesia semakin kompetitif di pasar internasional dan domestik,” jelasnya.
Airlangga menggarisbawahi upaya yang dilakukan dalam UU Cipta Kerja sejalan dengan perkembangan dan peran hukum dalam pembangunan nasional, terutama yang berkaitan dengan perekonomian dan penciptaan lapangan kerja.
“Para ahli hukum telah menggambarkan bahwa hukum dapat berperan maksimal dalam pembangunan ekonomi apabila hukum dapat menciptakan fungsi stability, predictability dan fairness,”ucapnya.
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) Yasonna Laoly mengatakan bahwa UU Cipta Kerja berupaya melakukan penataan ulang terhadap pengenaan sanksi dalam berbagai UU sektor yang menerapkan sanksi pidana terhadap penyimpangan administratif.
“Terhadap hal itu, penyimpangan atau pelanggaran terhadap ketentuan administratif dikenakan sanksi administratif. Dalam hal sanksi administratif tidak dapat dijalankan, maka pengenaan sanksi pidana menjadi pilihan untuk penegakan hukum,” katanya.
Pelanggaran ketentuan UU yang menimbulkan akibat K3L atau esehatan, keselamatan, keamanan, dan lingkungan tetap dikenakan sanksi pidana.
Pengaturan pengenaan sanksi tersebut tidak hanya kepada masyarakat atau pelaku usaha, tetapi juga kepada aparatur sipil negara (ASN) yang tidak memberikan atau melaksanakan pelayanan perizinan berusaha sesuai dengan NSPK. Selain itu juga kepada ASN yang tidak melaksanakan fungsi pengawasan dan pembinaan sesuai ketentuan.