Bisnis.com, JAKARTA - Aturan mengenai kewajiban masyarakat melakukan rapid test antigen dan PCR yang hanya berupa surat edaran (SE) dikritisi oleh para pengamat. Pemerintah disebut tidak serius karena menerapkan aturan tanpa adanya sanksi bagi pelanggarnya.
Pengamat Kebijakan Publik Agus Pambagio menuturkan sejak awal pandemi Covid-19 pemerintah telah menunjukkan inkonsistensi dalam urusan peraturan perundang-undangan. Hal semacam ini semestinya tidak terjadi karena sudah diatur dalam UU No. 12/2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan.
"Dalam perjalanannya, ada kebijakan setelah Permenhub No. 25/2020 itu muncul surat edaran [SE]- surat edaran, itu tidak bisa jadi produk hukum. Saya diskusi dengan biro hukum dan staf ahli, yang ada Peraturan Menteri saja, tetapi semua tetap, ujungnya menjadi tidak bisa dipakai itu sebagai kontrol pelaksanaan peraturan perundang-undangan, itu terbukti di lapangan tidak ada gigitannya," ujarnya, dikutip Selasa (22/12/2020).
Inkonsistensi ini memunculkan ambiguitas yang berujung banyak pengecualian dalam pelaksanaan aturan. Dia juga menyayangkan tidak ada sanksi dalam pelanggaran SE dari Kemenhub maupun Satuan Tugas.
"Ini harus diberi sanksi, tak ada peraturannya, sanksi itu bisa di UU dan Perda, Perda Jawa Timur soal Covid-19 keluar Juli, sementara DKI September. Pada lebaran ada lonjakan kasus sangat tinggi, itu diulangi saat November, di Indonesia grafik penularan kasus belum pernah turun," katanya.
Selanjutnya, mengenai libur Natal 2020 dan Tahun Baru 2021 (Nataru) pemerintah memilih menunda libur Idulfitri disatukan di akhir tahun, tetapi ujungnya libur dipangkas. Masyarakat pun sudah terlanjur membeli tiket bepergian.
Baca Juga
Walaupun ada upaya menekan perjalanan, nyatanya kasus baru Covid-19 naik terus bahkan kasus baru per harinya sudah mendekati 8.000 kasus. Agus menegaskan itu baru yang terdata, jika yang tidak terdata dihitung bisa mencapai 20.000 kasus Covid-19 baru setiap harinya.
"Ini dengan model 3M, maksud saya pemerintah perlu mencari cara perbaiki peraturan, patuhi UU No. 12/2011 harus ada sanksi, tanpa sanksi semua aturan tidak bisa efektif. Pemerintah tak perlu membuat aturan kalau tidak ada sanksi, orang Indonesia perlu ada sanksi," katanya.
Anggota Ombudsman RI Alvin Lie menambahkan, kebijakan pemerintah yang menekan aktivitas masyarakat dan memperbolehkannya di saat yang sama membuat kebingungan.
Alvin menyebut aturan yang diumumkan dan masa berlakunya yang terlalu berdekatan membuat masyarakat kalang kabut. Contohnya, SE No.3/2020 dari Satgas yang isinya mewajibkan masyarakat melakukan rapid test antigen saat menggunakan moda udara dan kereta api diterbitkan dan berlakunya tanggal 19 Desember 2020, tetapi surat baru beredar pada 20 Desember 2020.
"Lihat yang terjadi pada 19 hingga 21 Desember 2020 server Kemenkes down, tak bisa akses e-HAC [electronic health alert card], di Bandara Soekarno-hatta alat pembaca e-HAC tak menyambung ke server jadi isi manual kerumunan lagi," katanya.
"Jadi ini niatnya mau kurangi kerumunan, tapi malah nambah kerumunan, atau tak peduli, bikin aturan yang bisa diimplementasikan, lalu tidak peduli lagi," ujarnya.