Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Faisal Basri: Tak Perlu Bom Atom Omnibus Law untuk Dongkrak Peringkat EoDB

Tanpa Omnibus Law, Faisal yakin perbaikan peringkat EoDB bisa dicapai. Pemerintah disebut kecolongan untuk satu elemen EoDB, yakni trading across borders.
Pakar Ekonomi Faisal Basri memberikan paparan dalam diskusi bertajuk Roadmap Pengembangan Kendaraan Listrik di Indonesia, di kantor pusat PLN, Jakarta, Selasa (10/7/2018)./JIBI-Felix Jody Kinarwan
Pakar Ekonomi Faisal Basri memberikan paparan dalam diskusi bertajuk Roadmap Pengembangan Kendaraan Listrik di Indonesia, di kantor pusat PLN, Jakarta, Selasa (10/7/2018)./JIBI-Felix Jody Kinarwan

Bisnis.com, JAKARTA - Ekonom senior dari Universitas Indonesia Faisal Basri meminta Presiden Jokowi untuk tidak memaksakan pelaksanaan Omnibus Law Undang-undang Cipta Kerja hanya untuk menggenjot investasi masuk ke Tanah Air.

Pasalnya, menurut Faisal pemerintah sebelumnya sudah berada di jalur yang tepat dalam melakukan sejumlah pembenahan perbaikan birokrasi untuk mengundang para investor datang dan berbisnis di Indonesia.

Hal ini terbukti dari perbaikan peringkat Kemudahan Berbisnis (Ease of Doing Business/EoDB) Indonesia yang dirilis oleh Bank Dunia dalam beberapa tahun terakhir.

Pemerintah, kata Faisal, hanya perlu memperbaiki sejumlah hal dalam penerapan paket kebijakan-paket kebijakan yang sudah dikeluarkan sebelumnya.

"Tanpa perlu adanya bom atom yang namanya Omnibus Law Undang-undang Cipta Kerja, kemudahan berbisnis di Indonesia akan mengalami perbaikan luar biasa," ujarnya seperti dikutip dari siaran video di YouTube CokroTV, Jumat, 23 Oktober 2020.

Dalam video berjudul "Ayo Jokowi, Kembali ke Jalur yang Benar!" dan berdurasi 14 menit 38 detik ini, Faisal Basri yakin bahwa dengan pembenahan kebijakan yang ada, revolusi berbisnis akan membuat Indonesia masuk ke dalam peringkat 30 besar EoDB tersebut.

Hanya dengan melakukan serangkaian upaya terukur, pemerintah harus kembali menetapkan sejumlah langkah dengan jelas berikut prioritas apa saja yang wajib didahulukan. "Saya ingatkan, kita sudah punya cukup senjata tanpa harus bom atom. Ayo pak Jokowi, kembali ke jalur yang dibangun. Tujuan sudah dekat, jangan pindah jalur yang belum tentu lebih cepat dan lebih aman," kata Faisal Basri.

Faisal menjelaskan, di periode pertama pemerintahannya, Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Jusuf Kalla ketika diangkat pada 2014, peringkat EODB Indonesia ada di urutan 120. "Jelek sekali posisinya, jauh tercecer, dibanding Singapura nomor 1, Malaysia keenam, Thailand ke-18, Brunei ke-59, dan Vietnam di 99," ujarnya.

Namun selama periode pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla sudah banyak hal dilakukan. Ada 16 paket kebijakan dalam 2 tahun, terhitung dari 9 September 2015 hingga 31 Agustus 2017. Hingga akhir periode jabatan pertama, hampir semua program dan target terlaksana dan hasilnya nyata.

"EoDB naik tajam 48 peringkat menjadi 72. Tahun 2019 dan 2020 turun 1 peringkat. Sehingga sekarang di peringkat 73," ucap Faisal. "Entah kenapa tak ada lagi paket susulan hingga 2019."

Faisal menyebutkan belasan paket kebijakan itu telah mencanangkan langkah-langkah sistematis dan tinggal dilanjutkan. Namun, dia mempertanyakan kenapa pemerintah dan DPR mendorong Omnibus Law UU Cipta Kerja ini.

Elemen EoDB

Soal ini, Faisal menduga, bisa jadi Presiden Jokowi tidak puas karena target awal pemerintah bahwa EoDB harusnya naik ke peringkat 40. Walaupun sebetulnya, bukti menunjukkan perbaikan telah membuahkan hasil.

"Itu sudah lebih dari separuh jalan terlampaui. Ketertinggalan dengan Vietnam sebanyak 21 peringkat berhasil dipangkas menjadi hanya 3 peringkat. Indonesia 73, Vietnam 70. Selisih dengan Brunei juga menyempit dari 61 jadi 7 peringkat. Ini luar biasa, ini patut disyukuri. Artinya sudah di jalur yang benar," ungkap Faisal.

Jika ingin memperbaiki, Faisal Basri menilai pemerintah bisa fokus di sejumlah elemen yang jadi perhatian di EoDB tersebut. Dari 10 elemen, empat di antaranya sudah bagus kinerjanya yakni: resolving insolvency, getting electricity, getting credit dan protecting minority investor.

"Bahkan untuk elemen pertama dan terakhir telah menembus 40 besar, elemen getting credit sudah mendekati 40 besar."

Namun, pemerintah disebut kecolongan karena ada satu elemen mengalami pemburukan luar biasa yakni trading across borders.

"Bayangkan pada 2014, RI sudah di peringkat ke-54, tahun ini melorot ke urutan 116. Jika elemen ini saja dikembalikan ke posisi semula, niscaya peringkat kita menyusul Vietnam," ujarnya.

Ditambah lagi dengan perbaikan sejumlah elemen seperti registering property dan dealing with construction permits, menurut Faisal Basri, peringkat EoDB Indonesia bisa mencapai target 40 besar seperti yang dicanangkan Presiden Jokowi. "Bahkan terbuka peluang menembus 30 besar dalam waktu tidak terlalu lama."

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Newswire
Sumber : Tempo
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper