Bisnis.com, JAKARTA — UU Omnibus Law Cipta Kerja disinyalir kian memberi celah dalam mempermudah impor komoditas pangan.
Peneliti Institute for Development Economics and Finance (INDEF) Mirah Midadan mengatakan dalam UU Cipta Kerja pasal 15 ayat 1 berbunyi pemerintah pusat dan daerah sesui dengan wewenangnya wajib meningkatkan produksi pertanian.
Sementara dalam UU eksisting sebelumnya berbunyi bahwa pemerintah berkewajiban mengutamakan produksi pertanian dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan pangan nasional.
"Meningkatkan produk pangan tentu menjadi kewajiban dan kepentingan yang harus dipenuhi, UU eksisting sudah mengatur lebih jelas bahwa produksi dalam negeri harus digenjot sedang UU Cipta Kerja menghapus frasa tersebut," katanya dalam diskusi INDEF, Senin (19/10/2020).
Mirah mengemukakan implikasi dari penghapusan frasa tersebut yakni peningkatan produksi yang dilakukan pada sektor pertanian dikhawatirkan hanya sekedar peningkatan angka atau presentase yang tidak jelas acuannya.
Untuk itu, pertimbangan atau pembatasan sebelum melakukan impor pangan harus jelas dituliskan dalam peraturan turunan pasal tersebut guna melindungi kesejahteraan petani.
Selanjutnya, Mirah menyebut dalam pasal 30 ayat 1 UU eksisting yang berbunyi setiap orang dilarang mengimpor komoditas pertanian pada saat ketersediaan komoditas pertanian dalam negeri sudah mencukupi kebutuhan konsumsi dan cadangan pangan pemerintah, juga diubah.
Perubahan dalam UU Cipta Kerja pasal 30 ayat 1 menjadi kecukupan kebutuhan konsumsi dan cadangan pangan pemerintah berasal dari produksi dalam negeri dan impor dengan tetap melindungi kepentingan petani.
Alhasil, Mirah menilai ketika UU eksisting telah menegaskan larangan impor dalam kondisi kebutuhan terpenuhi, UU Cipta Kerja malah menjelaskan cara memenuhi kebutuhan pangan itu sendiri.
"Dari situ saja ruhnya sudah berbeda karena itu bukan hal yang simple diubah bukannya mensejahterakan petani malah membuka keran impot," ujarnya.
Peneliti INDEF Rusli Abdullah menambahkan dalam UU Cipta Kerja memang ditemukan banyak sekali pasal seperti di atas yang membingungkan. Prinsipnya pemerintah memang harus memiliki roadmap pangan yang jelas.
Pemerintah juga harus memiliki aturan jelas terkait jenis impor pangan yang diperuntukan apa yakni konsumsi langsung atau industri.
"Adapun saat ini sudah terjadi ketidakseimbangan sistem pertanian dan permintaan pangan," katanya.
Rusli menjabarkan sistem pertanian itu mencakup skala kecil, praktik konvensional, petani menua, adopsi teknologi rendah, inefisiensi usaha tani, dan perbenihan. Sementara permintaan pangan mencakup makanan yang terjangkau, sehat, beragam, diversifikasi, dan pasokan berkelanjutan.