Bisnis.com, JAKARTA - Tahun kedua pemerintahan Joko Widodo-Ma’ruf Amin harus dihadapkan pada pandemi Covid-19. Tekanan ekonomi membuat pemerintah harus merevisi batas wajar defisit fiskal.
Berdasarkan postur anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) 2021, pendapatan ditetapkan sebesar Rp1.743,6 triliun, sedangkan belanja Rp2.750 triliun.
Keseimbangan primer disetujui Rp633,1 triliun dengan defisit sebesar Rp1.006,3 triliun atau 5,7 persen. Berdasarkan Peraturan Presiden 72/2020, defisit maksimal 6,34 persen dari produk domestik bruto (PDB).
Kepala Ekonom BCA, David Sumual mengatakan bahwa kondisi yang luar biasa karena Covid-19 mau tidak mau harus membuat pemerintah melebarkan beban fiskal. Pemerintah berjanji kebijakan tersebut bersifat temporer.
“Memang tahun ini, tahun depan, dan beberapa tahun ke depan akan lebih tinggi defisit anggaran yang lebih dari 3 persen,” katanya saat dihubungi, Senin (19/10/2020).
David menjelaskan bahwa hampir semua negara di belahan dunia mengalami pelebaran defisit. Jika ditotal dari defisit dunia sebesar US$12 triliun, nilai Indonesia masih tergolong kecil.
Sementara itu dalam menjaga ekonomi yang lesu, peran pemerintah dalam menjaga ekonomi masih sangat dominan. Belanja akan menjadi tulang punggung melihat perdagangan masih belum pulih.
Dia melanjutkan bahwa pilihan yang diambil pemerintah memang terbatas. Di sisi lain, pengusaha yang masih menunggu ekonomi dan juga sektor perdagangan yang belum pulih, mau tidak mau belanja negara menjadi harapan.
“Paling tidak kita masih berharap pada belanja pemerintah di semester I/2021. Dan pemerintah juga fokus pada peningkatkan kualitas produksi dan ekonomi lewat infrastruktur pembangunan, kebijakan industri, dan implementasi omnibus law yang dikatakan meningkatkan investasi,” jelasnya.