Bisnis.com, JAKARTA -- Setidaknya akan ada 32 federasi dan konfederasi pekerja yang berencana melakukan unjuk rasa penolakan Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja setelah DPR RI merampungkan pembahasan di tingkat I.
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal menyebutkan terdapat tujuh alasan yang mendasari rencana aksi yang dinamakan ‘Mogok Nasional’ itu.
Alasan pertama, dihapusnya regulasi yang mengatur upah minimum kota/kabupaten (UMK) bersyarat dan upah minimum sektoral kabupaten/kota (UMSK). Said Iqbal menilai UMK dan UMSK perlu tetap ada karena besarannya berbeda-beda di tiap daerah. Selain itu, dia juga menyebutkan bahwa UMK Indonesia secara rata-rata juga lebih kecil dibandingkan dengan upah minimum Vietnam.
“Tidak adil, jika sektor otomotif seperti Toyota, Astra, dan lain-lain atau sektor pertambangan seperti Freeport, Nikel di Morowali dan lain-lain, nilai UMK-nya sama dengan perusahan baju atau perusahaan kerupuk. Karena itulah di seluruh dunia ada upah minimum sektoral yang berlaku sesuai kontribusi nilai tambah tiap-tiap industri terhadap PDB negara,” kata Iqbal dalam keterangan tertulis, Minggu (4/10/2020).
Untuk mengurai permasalahan ini, dia mengusulkan agar penetapan nilai kenaikan dan jenis industri yang mendapatkan UMSK dilakukan di tingkat nasional untuk beberapa daerah dan di jenis industri tertentu saja. Dengan demikian, UMSK tidak lagi diputuskan di tingkat daerah dan tidak semua industri mendapatkan UMSK.
Untuk perundingan nilai UMSK dilakukan oleh asosiasi jenis industri dengan serikat pekerja sektoral industri di tingkat nasional. Di mana keputusan penetapan tersebut hanya berlaku di beberapa daerah dan jenis sektor industri tertentu sesuai kemampuan sektor industri tersebut.
“Jadi, tidak harus sama rata sama rasa, karena faktanya setiap industri berbeda kemampuannya karena itu masih dibutuhkan UMSK,” ujar Said Iqbal.
Kedua, Said Iqbal menyatakan bahwa buruh menolak pengurangan nilai pesangon dari 32 bulan upah menjadi 25 bulan. Di mana 19 bulan dibayar pengusaha dan 6 bulan dibayar dari manfaat BPJS Ketenagakerjaan. Dia mempertanyakan dari mana BPJS Ketenagakerjaan memperoleh dana untuk pembayaran tersebut.
“Tanpa membayar iuran tapi BPJS membayar pesangon buruh 6 bulan, bisa dipastikan BPJS Ketenagakerjaan akan bangkrut atau program JKP tidak akan berkelanjutan,” lanjut Said Iqbal.
Ketiga, terkait regulasi pekerja dengan perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) yang tak lagi diatur batasan kontraknya. Said Iqbal menilai aturan baru ini akan membuka peluang kontrak seumur hidup.
Said Iqbal pun mengemukakan bahwa pekerja juga menolak regulasi soal pekerja alih daya atau outsourcing yang tak lagi dibatasi sektor penggunanya. Sebelumnya, sistem kerja ini hanya dibatasi untuk lima jenis pekerjaan.
Dia menyoroti kemungkinan masalah yang timbul bagi pekerja dengan PKWT dan outsourcing dari sisi JKP. Skema ini dia sebut membuat pihak yang berkewajiban membayar iuran JKP menjadi tidak jelas. Pelaku usaha dinilai bisa mengontrak pekerja di bawah satu tahun untuk menghindari kewajiban membayar kompensasi.
“Sekarang saja jumlah karyawan kontrak dan outsourcing berkisar 70 sampai 80 persen dari total buruh yang bekerja di sektor formal. Dengan disahkannya RUU Cipta Kerja, apakah mau dibikin 5 sampai 15 persen saja karyawan tetap? Tidak ada jaminan keamanan kerja di Indonesia, apa ini tujuan investasi?” kata Said Iqbal.
Alasan kelima yang membuat serikat buruh menolak RUU ini adalah durasi kerja yang dinilai tetap eksploitatif. Keenam, dia pun menyoroti hak cuti yang berpotensi hilang, termasuk cuti haid dan melahirkan. Terakhir, kalangan buruh juga menyebutkan bahwa lugasnya aturan karyawan kontrak dan outsourcing berpotensi menghilangkan jaminan pensiun dan kesehatan.
“Dari tujuh isu hasil kesepakatan tersebut, buruh menolak keras. Karena itulah, sebanyak 2 juta buruh sudah terkonfirmasi akan melakukan mogok nasional yang berlokasi di lingkungan perusahaan masing-masing,” kata Said Iqbal.