Bisnis.com, JAKARTA – Tuntasnya pembahasan poin-poin krusial dalam klaster ketenagakerjaan RUU Cipta Kerja (Ciptaker) bertepatan dengan waktu pengesahan regulasi ini yang tinggal menghitung hari.
Sejumlah poin-poin krusial yang mendapatkan pertentangan baik dari DPR maupun pemerintah antara lain mengenai pekerja alih daya, upah minimum, dan pesangon PHK.
Namun, secara umum, substansi perubahan UU Ketenagakerjaan No.13 Tahun 2003 terdiri dari 7 poin yakni waktu kerja, tenaga kerja asing, pekerja kontrak, alih daya (outsurcing), upah minimum, pesangon PHK, dan Program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP).
Pemerintah bersikukuh untuk mempertahankan substansi perubahan RUU Ciptaker, salah satunya dengan meniadakan formulasi penghitungan upah minimum berdasarkan pertumbuhan ekonomi nasional dan inflasi sesuai Peraturan Pemerintah No.78 Tahun 2015 tentang Pengupahan.
“Peraturan upah minimum tidak bisa diterapkan pada usaha mikro kecil. Kenaikan upah minumum menggunakan inflasi dan pertumbuhan ekonomi nasional seperti di PP 75 [membuat] kesenjangan upah minimum. Ke depan ingin ada perubahan, upah minimum tidak dapat ditangguhkan,” kata Staf Ahli Bidang Regulasi, Penegakan Hukum, dan Ketahanan Ekonomi, Kemenko Perekonomian, Elen Setiadi, dikutip dari facebook Badan Legislatif, Selasa (29/9/2020).
Sebagai gantinya, ia menginginkan formulasi perhitungan berdasarkan pertumbuhan ekonomi daerah dan produktivitas.
Baca Juga
Poin selanjutnya adalah pembayaran pesangon PHK. Jika sebelumnya pengusaha diharuskan membayar pesangon sebanyak 32 kali upah, pemerintah mengusulkan adanya penyesuaian penghitungan dan menambah Program JKP.
“Persoalan pesangon PHK sebanyak 23 kali sangat memberatkan pelaku usaha, mengurangi minat investor untuk berinvestasi,” tekannya.
Dia pun mengutip survei Kementerian Ketenagakerjaan bersama World Bank pada 2010 terkait pembayaran pesangon. Adapun, 66 persen pengusaha masih tidak patuh sehingga karyawan sama sekali tidak menerima pesangon.
Selanjutnya, 27 persen masih patuh parsial sehingga karyawan menerima hak pesangon lebih kecil daripada ketentuan. Sebaliknya, hanya 7 persen pengusaha yang patuh
“Jadi dengan pengaturan seperti ini implementasinya tidak sama. Kita mengangap masih ada ketidakpastian dalam penerapan pesangon,” jelasnya.
Namun, setelah adanya perundingan, sejumlah poin-poin yang diusulkan mengalami perubahan.
Salah satu poin yang disepakati adalah terkait pesangon yang akhirnya disetujui tetap ada dengan jumlah 32 kali gaji. Rinciannya adalah sebanyak 23 kali ditanggung oleh pemberi kerja atau pengusaha dan sisanya 9 kali ditanggung oleh JKP.
"Ini seperti Undang-undang existing atau yang berlaku sekarang. Pesangon tetap 32 kali gaji," kata Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR Firman Soebagyo, dikutip dari Antara, Senin (28/9/2020).
Dalam kesempatan terpisah, Ketua Baleg DPR Supratman Andi Agtas mengatakan poin lainnya yang juga disetujui adalah penetapan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) yang dijalankan dengan kriteria tertentu.
Ia memastikan pemberian UMK ini akan ditetapkan dengan menyesuaikan tingkat inflasi dan tidak dikelompokkan secara sektoral.
"RUU ini dirancang untuk menjamin upah yang paling tinggi agar tidak turun. UMK tetap ada dengan dasar perhitungan pertumbuhan dan inflasi daerah," kata Supratman.
Poin-poin lain yang juga disetujui di klaster ketenagakerjaan adalah terkait Jaminan Kehilangan Pekerjaan, Jaminan Hari Tua, dan Jaminan Kecelakaan Kerja.
Semua jaminan kehilangan pekerjaan ini diakuinya telah disetujui untuk tetap disubsidi melalui upah dengan menggunakan data BPJS Ketenagakerjaan.