Bisnis.com, JAKARTA – Ekonom Senior Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Aviliani menilai persoalan RUU Cipta Kerja masih bisa menunggu dan tidak terlalu mendapat urgensi besar untuk segera disahkan.
Saat ini, pembahasan RUU Cipta Kerja klaster ketenagakerjaan telah rampung dan pengesahan RUU Cipta Kerja secara keseluruhan pun akan dilakukan dalam waktu dekat.
“Tujuan pemerintah bagus, problem-nya apakah urgensinya sudah dibutuhkan saat ini. Ke depan itu akan ada banyak perubahan perilaku masyarakat di dunia kerja, sehingga tidak usah terlalu buru-buru, tetapi perlu agar mengantisipasi perubahan perilaku masyarakat yang nantinya akan jadi permanen,” ujarnya saat dihubungi Bisnis, Senin, (28/9/2020).
Perubahan perilaku yang dimaksud ialah masyarakat yang sudah terbiasa bekerja dari rumah. Dia melihat bahwa potensi bekerja dari rumah (remote working) memiliki kemungkinan dilaksanakan secara berkelanjutan.
“Perusahaan potensinya besar melanjutkan ini [remote working]. Dan, tentu saja berpengaruh akan fleksibilitas pada jam kerja, poin ini yang perlu adanya sosialisasi kepada serikat pekerja,” ujarnya.
Selain itu, dia menyarankan agar pemerintah berkonsentrasi pada kemungkinan buruk yang diakibatkan dari resesi yaitu bagaimana agar masyarakat tetap bisa hidup dan bertahan.
Baca Juga
“Menurut survei OECD, orang Indonesia ini 100 juta orang hanya punya cadangan dana darurat untuk 7 hari padahal ini bisa 3-6 bulan, sehingga perlu fokus terhadap keadaan masyarakat,” ujarnya.
Dia menyarankan bahwa perlu untuk melakukan sosialisasi kembali ke serikat pekerja, sektor usaha, dan akademisi untuk meminimalisir gejolak di masyarakat.
“Saya rasa konsentrasi ke jangka pendek dulu, karena disahkan secara cepat pun di saat seperti ini tidak akan langsung ada investor yang muncul. Investor sektor riil akan masuk setelah ekonomi kita benar-benar sudah terlihat menuju pulih,” kata Aviliani.
Menurut Sekretaris Jenderal Organisasi Pekerja Seluruh Timboel Siregar, penuntasan pembahasan aturan tersebut masih menyisakan beberapa pasal yang belum bisa diterima oleh kalangan pekerja sampai dengan saat ini.
Pasal-pasal yang dianggapnya bermasalah antara lain pasal 59 terkait dengan pekerja untuk waktu tertentu atau kontrak serta penyerahan pasal 66 dalam UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan terkait dengan tenaga alih daya kepada eksekutif lewat Peraturan Pemerintah (PP).
"Soal tenaga alih daya, pasal 66 tetap tapi nanti ketentuannya diserahkan ke PP. Menurut saya itu tidak tepat. Kenapa ketentuan di undang-undang dengan sifatnya yang mengikat dan memiliki kepastian bahwa regulasi operasional PP mengacu kepada ketentuan itu, bukan sebaliknya, malah direduksi ke PP?" kata Timboel.
Dia menilai kewenangan yang nanti dimiliki oleh lembaga eksekutif akibat reduksi Pasal 66 ke dalam PP bakal merugikan buruh. Subjektivitas yang dimiliki oleh lembaga eksekutif dianggap membuat kontrol terhadap perlindungan hak-hak pekerja menjadi dipertanyakan.
Menurutnya, reduksi pasal 66 ke dalam PP berpotensi menimbulkan multiinterpretasi sehingga dapat dijadikan sebagai dasar untuk melakukan uji materi ke Mahkamah Agung (MA).
Kemudian, urusan pekerja untuk waktu tertentu atau kontrak di pasal 59 UU Ketenagakerjaan juga berpotensi bermasalah. Timboel berpendapat, penghapusan pasal tersebut di RUU Cipta Kerja memungkinkan dilakukannya kontrak seumur hidup bagi pekerja