Bisnis.com, JAKARTA - Indonesia diramal akan ditimpa resesi ekonomi, mengikuti jejak negara-negara lain di dunia. Hal ini tidak lain karena terpukulnya ekonomi, akibat pandemi Covid-19.
Seperti diketahui, Selasa (22/9/2020), pemerintah kembali merevisi proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini. Diperkirakan pertumbuhan ekonomi akan berada pada kisaran -1,7 persen hingga -0,6 persen tahun ini.
Sebelumnya, pertumbuhan ekonomi 2020 diperkirakan -1,1 persen, dengan batas atas masih positif 0,2 persen.
Bahkan, menurut OECD pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2020 akan turun lebih dalam dari rentang proyeksi pemerintah tersebut. OECD dalam Economic Outlook Interim Report edisi September 2020, memperkirakan ekonomi Indonesia tahun ini akan -3,3 persen.
OECD menyebut, setelah tren negatif yang terjadi pada paruh pertama tahun ini, hasil pemulihan ekonomi terjadi dengan cepat menyusul pelonggaran langkah-langkah penahanan dan pembukaan kembali beberapa sektor bisnis.
Namun demikian, laju pemulihan tersebut telah kehilangan momentum baru-baru ini. Hal ini sejalan dengan pembatasan baru yang diberlakukan di beberapa negara, termasuk pembatasan sosial berskala besar (PSBB) Jilid II di DKI Jakarta.
Baca Juga
Sementara itu, pertumbuhan ekonomi pada kuartal III/2020 diperkirakan akan terkontraksi lebih dalam, pada kisaran -2,9 persen hingga -1,0 persen.
Ini artinya, Indonesia akan resmi mengalami resesi ekonomi, karena secara dua kuartal berturut-turut Indonesia mencatatkan pertumbuhan ekonomi negatif. Pada kuartal II/2020, ekonomi Indonesia telah terkontraksi -5,32 persen.
Sri Mulyani dalam konferensi pers Selasa (22/9/2020) menjelaskan, ada beberapa indikator ekonomi yang masih menahan pertumbuhan ekonomi.
Dia menjelaskan dari sisi permintaan di kuartal III/2020 konsumsi rumah tangga masih diperkirakan berada pada zona kontraksi, yaitu -3 persen hingga -1,5 persen.
Dengan demikian, total outlook 2020 konsumsi Indonesia berarti pada kisaran kontraksi -2,1 persen hingga -1 persen.
Konsumsi masyarakat masih belum bisa terkerek meski konsumsi pemerintah di kuartal ketiga sudah meningkat positif karena akselerasi belanja yang luar biasa, hingga mencapai 17 persen.
Faktor lainnya, adalah pertumbuhan investasi yang masih lemah meski sudah memunjukkan perbaikan. Hal ini tercermin dari indikator aktivitas bangunan, impor barang modal, dan penjualan kendaraan niaga.
"Perbaikan aktivitas ekonomi masih tertahan membuat investasi masih wait and see," kata Sri Mulyani.
Di samping itu, pihaknya melihat aktivitas pariwisata, salah satu sektor yang sangat terpukul akibat pandemi Covid-19, masih rendah sehingga menekan sektor perhotelan dan transportasi.
Indikator ekonomi Tanah Air menunjukkan bahwa perbaikan belum berjalan dengan cepat.
Dari data Bank Indonesia (BI), Indeks Penjualan Riil (IPR) hasil Survei Penjualan Eceran Juli 2020 masih mengalami kontraksi sebesar -12,3% (yoy). Namun, penurunan tersebut membaik dari bulan sebelumnya sebesar -17,1% (yoy).
Sementara itu, indeks ekspektasi kondisi ekonomi (IEK) Agustus 2020 melemah menjadi sebesar 118,2 dari posisi Juli 2020, sebesar 121,7.
Menurut BI, penurunan tersebut disebabkan oleh ekpektasi konsumen terhadap penghasilan, ketersediaan lapangan kerja, dan kegiatan usaha yang cenderung terbatas.
Indeks ekspektasi penghasilan pada periode Agustus 2020 tercatat sebesar 124,7, menurun dari 125,4 pada bulan sebelumnya.
Penurunan ini terjadi pada responden dengan tingkat pengeluaran Rp1-3 juta per bulan. Berdasarkan usia, eskpektasi terhadap penghasilan mengalami penurunan pada responden berusia 20-30 tahun dan 51-60 tahun.
Per Agustus, angka Purchasing Managers's Index (PMI) Indonesia berada di level 50,8 atau naik 390 basis poin (bps) dari realisasi Juli 2020 di level 46,9. Angka ini membaik setelah mengalami kontraksi selama 5 bulan berturut-turut.
Adapun, data Sakernas Februari 2020 menunjukkan tingkat partisipasi angkatan kerja saat ini sekitar 69 persen, dengan jumlah penduduk bekerja sekitar 131 juta.
Sementara itu, jumlah pengangguran sebanyak 6,88 juta dengan tingkat pengangguran terbuka (TPT) sekitar 4,99 persen.
Berdasarkan hasil survei dampak Covid-19 yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS) terhadap 34.559 lapangan usaha bulan September ini, sebanyak 6 dari 10 perusahaan masih beroperasi seperti biasa di tengah pandemi.
BPS mencatat, sebanyak 58,95 persen perusahaan yang disurvei masih beroperasi seperti biasa dari total usaha yang disurvei tersebut.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad mengatakan perkiraan pemerintah menunjukkan bahwa perekonomian semakin berat. Apa yang diharapkan tidak sesuai dengan kenyataan.
“Beberapa indikator seperti konsumsi, penjualan, keyakinan konsumen dan IPM yang meningkat tapi tidak bergerak tinggi. Memang 2020 cukup berat,” katanya saat dihubungi Bisnis, Selasa (22/9/2020).
Tauhid menjelaskan bahwa melihat revisi pertumbuhan yang cukup dalam, ini menunjukkan proses pemulihan ekonomi akan lebih panjang.
Penyebabnya sederhana. Tidak ada siapapun yang bisa meyakinkan kapan Covid-19 bisa berakhir. Pembatasan sosial berskala besar (PSBB) yang dilonggarkan pun belum bisa mengerek bisnis.
“Karena beberapa sektor terutama makanan-minuman, hotel, restoran dan sebagian jasa tidak bergerak meski PSBB longar,” jelasnya.