Bisnis.com, JAKARTA - Indonesia dapat dipastikan alami resesi kuartal III/2020. Hal tersebut dikonfirmasi dalam paparan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati di Konferensi Pers APBN Kita, Selasa (23/9/2020).
Sri Mulyani mengungkapkan proyeksi pertumbuhan ekonomi kuartal III/2020 diperkirakan minus 2,9 persen - minus 1,0 persen.
Angka ini direvisi dari proyeksi sebelumnya minus 1,1 persen hingga positif 0,2 persen.
"Yang terbaru per September 2020 ini, minus 2,9 persen - minus 1,0 persen. Negatif teritori pada kuartal III ini akan berlangsung di kuartal keempat," kata Sri Mulyani dalam konferensi pers APBN Kita September virtual, Selasa (22/9/2020).
Sebelumnya, pertumbuhan ekonomi kuartal II/2020 terkontraksi sebesar 5,32 persen (year on year/yoy) dibandingkan 5,07 persen pada periode sama tahun lalu.
Secara kuartalan, dibandingkan dengan kuartal I/2020, maka ekonomi Indonesia mengalami kontraksi -4,19 persen.
Baca Juga
Dikutip dari Business Insider, resesi adalah penurunan ekonomi yang signifikan dan menyebar ke seluruh sektor ekonomi yang berlangsung lebih dari beberapa kuartal.
Istilah ini biasanya didefinisikan sebagai periode ketika produk domestik bruto (PDB) menurun selama dua kuartal berturut-turut. Garis pemikiran yang berlaku ini dipopulerkan oleh ekonom Julius Shiskin pada tahun 1974.
Namun kenyataannya, ada banyak sekali indikator yang menentukan apakah suatu negara sedang dalam resesi.
Saat menentukan resesi, National Bureau of Economic Research (NBER) menegaskan ada seperangkat indikator ekonomi yang lebih luas yang harus diperhatikan, indikator tersebut mencakup tingkat pekerjaan, pendapatan domestik bruto (GDI), penjualan eceran grosir, dan produksi industri.
Jadi dalam praktiknya, resesi tidak hanya ditandai oleh penurunan PDB riil, tetapi juga penurunan pendapatan pribadi riil, penurunan penjualan dan produksi manufaktur, dan kenaikan tingkat pengangguran.
Indikator Ekonomi
Dari data Bank Indonesia (BI), Indeks Penjualan Riil (IPR) hasil Survei Penjualan Eceran Juli 2020 masih mengalami kontraksi sebesar -12,3 persen (yoy). Namun, penurunan tersebut membaik dari bulan sebelumnya sebesar -17,1 persen (yoy).
Sementara itu, indeks ekspektasi kondisi ekonomi (IEK) Agustus 2020 melemah menjadi sebesar 118,2 dari posisi Juli 2020, sebesar 121,7.
Menurut BI, penurunan tersebut disebabkan oleh ekpektasi konsumen terhadap penghasilan, ketersediaan lapangan kerja, dan kegiatan usaha yang cenderung terbatas.
Indeks ekspektasi penghasilan pada periode Agustus 2020 tercatat sebesar 124,7, menurun dari 125,4 pada bulan sebelumnya.
Penurunan ini terjadi pada responden dengan tingkat pengeluaran Rp1-3 juta per bulan. Berdasarkan usia, eskpektasi terhadap penghasilan mengalami penurunan pada responden berusia 20-30 tahun dan 51-60 tahun.
Per Agustus, angka Purchasing Managers's Index (PMI) Indonesia berada di level 50,8 atau naik 390 basis poin (bps) dari realisasi Juli 2020 di level 46,9. Angka ini membaik setelah mengalami kontraksi selama 5 bulan berturut-turut.
Adapun, data Sakernas Februari 2020 menunjukkan tingkat partisipasi angkatan kerja saat ini sekitar 69 persen, dengan jumlah penduduk bekerja sekitar 131 juta.
Sementara itu, jumlah pengangguran sebanyak 6,88 juta dengan tingkat pengangguran terbuka (TPT) sekitar 4,99 persen.
Berdasarkan hasil survei dampak Covid-19 yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS) terhadap 34.559 lapangan usaha bulan September ini, sebanyak 6 dari 10 perusahaan masih beroperasi seperti biasa di tengah pandemi.
BPS mencatat, sebanyak 58,95 persen perusahaan yang disurvei masih beroperasi seperti biasa dari total usaha yang disurvei tersebut.
Menghadapi Resesi
Menteri Keuangan Sri Mulyani tidak memberikan penekanan khusus terkait dengan strategi ataupun langkah yang akan dilakukan pemerintah untuk menghadapi resesi dalam konferensi APBN Kita.
Namun, dia sebelumnya pernah mengungkapkan bahwa kontraksi ekonomi ini akan lebih kecil dari kuartal II/2020, artinya ada tanda-tanda pemulihan di bidang konsumsi dan investasi.
Dia mengklaim bahwa kondisi perekonomian Indonesia masih lebih baik dibandingkan dengan negara lain yang kontraksinya bisa mencapai 20 persen.
Resesi ekonomi pada tahun ini memang tidak bisa dihindari. Namun, pemerintah dapat mengenjot pemulihan pada tahun depan seiring dengan keberhasilan distribusi vaksin.
Sri Mulyani sendiri menegaskan bahwa pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi sebesar 4,5 persen - 5,5 persen dengan titik tengah 5 persen.
Ekonom Indef Bhima Yudhistira menilai pemerintah perlu melakukan upaya lebih pada tahun depan jika ingin ekonomi tumbuh pada kisaran 5 persen pada tahun depan.
Menurut Bhima, ada lima langkah yang bisa dilakukan pemerintah dalam mengenjot pertumbuhan tahun depan.
Pertama, pemerintah harus mengubah stimulus pajak yang tidak efektif pada tahun 2020. PPh 21 ditanggung pemerintah (DTP) yang realisasinya baru 4 persen per 14 September 2020.
Kemudian, pemerintah perlu meninjau PPh UMKM yang baru cair 12,9 persen dan penurunan tarif PPh badan baru yang pencairannya masih 26 persen. Selain itu, Bhima menyarankan pemerintah untuk fokus kepada pajak yang berkaitan langsung dengan konsumsi rumah tangga.
"Skema ideal untuk pajak adalah yang berkaitan langsung dengan konsumsi yakni PPN 10 persen dikurangi menjadi 0 persen-5 persen untuk boost belanja masyarakat," ujar Bhima, Selasa (22/9/2020).
Kedua, pemerintah perlu lebih fokus untuk mendorong digitalisasi di seluruh lini.
"Peluangnya besar sekali market digital dan terus tumbuh. oleh karena itu investasi di sektor infrastruktur digital perlu menjadi prioritas di 2021," tegasnya.
Ketiga, dia melihat pemerintah harus memperkuat bantuan langsung tunai (BLT). Skema BLT jauh lebih baik dibandingkan skema insentif lain karena uangnya masuk ke penerima akhir.
Bhima menegaskan anggaran untuk BLT perlu diperbesar untuk pekerja sektor informal, terutama TKI yang terdampak Covid-19, dan honorer.
Keempat, promosi dagang perlu dioptimalkan untuk mempercepat recovery sisi ekspor dan ini tugas dari atase perdagangan dan perwakilan di negara tujuan ekspor.
"Kita butuh market intelijen, disaat negara produsen lain lengah karena masalah pandemi," katanya.
Menurutnya, Indonesia harus bisa memimpin dengan membaca perubahan pola prilaku konsumen baik di negara tujuan ekspor tradisional maupun nontradisional.
Kelima, promosi investasi khususnya untuk menarik relokasi industri dari China menjadi sangat penting. Oleh karena itu, ketersediaan lahan ataupun KEK sangat diperlukan. Dia memandang peran menarik investasi di manufaktur dan industri bukan hanya kerja BKPM tapi lintas sektoral.