Bisnis.com, JAKARTA - Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menilai pemerintah harus memberikan keringanan pembayaran tarif listrik. Adapun, skema yang diusulkan adalah penundaan pembayaran biaya listrik.
Wakil Ketua Umum Apindo Shinta Widjadja Kamdani mengatakan latar belakang permintaan tersebut adalah minimnya efek stimulus tarif listrik yang diterbitkan per Agustus 2020. Shinta menghitung stimulus pembebasan rekening minimum hanya mengurangi tarif senilai Rp22,5 per kWh dan pembebasan kewajiban abodemen.
"Beberapa industri sangat berharap ada upgrade atau perbaikan terkait stimulus energi yang sudah ada sehingga stimulus energi ini bisa diperbesar diskonnya dan juga bisa mencakup pengaturan pembayaran," katanya kepada Bisnis, Rabu (16/9/2020).
Per Agustus 2020, PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) telah menyiapkan mekanisme pemberian stimulus Tarif Tenaga Listrik (TTL) dari pemerintah berupa pembebasan rekening minimum bagi pelanggan sosial, bisnis, dan industri dengan daya dimulai dari 1.300 VA ke atas. Jika pemakaian pelanggan di bawah kWh minimum, pelanggan cukup membayar sesuai pemakaian kWh-nya.
Adapun selisih dari jam nyala minimum terhadap realisasi pemakaian serta biaya beban dibayar pemerintah. Stimulus ini berlaku selama Juli-Desember 2020.
Pelanggan PLN yang menerima stimulus terbaru tersebut diperkirakan 1,26 juta pelanggan, terdiri atas pelanggan sosial 661.000 pelanggan, pelanggan bisnis 566.000 pelanggan, dan industri lebih dari 29.000 pelanggan. Kebutuhan dana stimulus tersebut Rp 3,07 triliun.
Baca Juga
Shinta berujar permintaan perluasan cakupan stimulus saat pandemi tersebut bukan karena stimulus tersebut tidak baik, namun efek stimulus tersebut tidak efisien. Pasalnya, tiap sub sektor manufaktur memiliki perlakuan yang berbeda terkait penggunaan listrik.
Badan Pusat Statistik (BPS) mendata keringanan tagihan listrik untuk usaha menjadi konsensus bagi pabrikan dalam semua skala produksi. Adapun, 41,18 persen industri kecil dan menengah (IKM) mendukung adanya insentif tersebut, sedangkan angka pada industriawan besar mencapai 43,53 persen.
Shinta menilai penundaan pembayaran tarif listrik menjadi stimulus kunci yang harus dipertmbangkan pemerintah. Pasalnya, melemahnya arus kas industriawan membuat potensi diputusnya arus listrik dapat terjadi karena keterlambatan pembayaran.
"Kalau pemutusan terjadi hanya karena masalah pembayaran, industri manufaktur nasional bisa cepat collapse dan menyebabkan deindustrialisasi," ucapnya.
Adapun, Shinta menilai perluasan insentif listrik dengan tujuan penundaan pembayaran tidak akan memiliki risiko berantai. Pasalnya, ujar Shinta, efek negatif dari sisi pendapatan PLN dapat dibendung apabila pemerintah menyuntikkan dana langsung ke perseroan.
Shinta mengusulkan salah satu skema penundaan pembayaran tagihan PLN adalah yang diusulkan Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) sebelumnya. Adapun, skema tersebut adalah dengan menggunakan giro berjalan yang akan dicicil selama 12 bulan.
"[Apapun skemanya] yang penting diberikan penundaan pembayaran," katanya.