Bisnis.com, JAKARTA -- Struktur perdagangan luar negeri Indonesia yang berkontribusi minim terhadap perekonomian secara agregat menjadi simalakama. Kondisi ini menjadi penyelamat ekonomi sekaligus mempersempit kesempatan Indonesia mempercepat pemulihan.
Kepala Ekonom Center for Strategic and International Studies (CSIS) Yose Rizal Damuri mengemukakan bahwa integrasi Indonesia dalam perdagangan global yang minim membuat kesempatan peningkatan ekonomi kala kondisi global pulih menjadi kecil.
Hal ini kontras dengan manfaat yang bisa dirasakan oleh negara seperti Vietnam atau Malaysia yang memiliki kontribusi ekspor yang besar pada perekonomian.
“Keuntungannya, karena ekonomi disumbang sebagian besar oleh konsumsi domestik, turunnya tidak sedalam negara lain. Kita mungkin tahun ini paling buruk turun 3 persen. Tetapi sisi buruknya, ketika perekonomian global pulih, perdagangan tidak bisa menjadi penghela. Kita tidak bisa memanfaatkan momentum tersebut,” kata Yose saat dihubungi, Selasa (15/9/2020).
Rendahnya integrasi Indonesia dalam struktur ekonomi global pun membuat investor sulit melirik industri di dalam negeri. Yose memperkirakan peluang Indonesia merengkuh relokasi industri dan diversifikasi basis produksi dari China menjadi sulit.
Selain karena integrasi yang minim, Yose melihat struktur produksi industri dalam negeri tidaklah menyerupai industri yang bakal direlokasi. Dia mengemukakan produksi industri dalam negeri cenderung bersifat labour intensive dan natural resource intensive.
Baca Juga
“Jika perusahaan China ingin realokasi, mereka akan mencari yang strukturnya sama. Sejauh ini mereka labour, technology, dan capital intensive. Jika memilih Indonesia penyesuaian akan lama. Di kawasan yang strukturnya mirip China adalah Vietnam, oleh karena itu mereka lebih dilirik,” ujarnya.
Indonesia sendiri disebut Yose telah terjebak dalam struktur ini selama puluhan tahun. Pembenahan pun memerlukan waktu yang panjang karena pada saat yang sama kebijakan perdagangan Indonesia cenderung restriktif. Hal ini tecermin dari hambatan impor yang dua kali lipat lebih rumit dibandingkan dengan negara lainnya.
Pembenahan sendiri disebut Yose perlu dilakukan meski membutuhkan waktu yang tak sebentar. Salah satu instrumen yang mendukung perubahan ini, menurut Yose, adalah RUU Cipta Kerja.
“Pengesahan RUU ini bukan lagi soal apa harus dilakukan atau tidak, tapi menjadi indikator apakah Indonesia bisa melakukan reformasi ekonomi,” kata Yose.