Bisnis.com, JAKARTA -- Neraca dagang Indonesia kembali mencetak surplus pada Agustus meski lebih rendah dibandingkan dengan Juli.
Surplus perdagangan pada bulan tersebut menorehkan US$2,33 miliar, turun dibandingkan dengan Juli yang mencetak surplus US$3,24 miliar.
Jika diakumulasi, neraca perdagangan RI selama Januari-Agustus 2020 surplus US$11,05 miliar. Jumlah ini jauh meningkat dibandingkan dengan Januari-Agustus 2019 yang defisit US$2,05 miliar.
Namun, torehan neraca dagang ini tak selamanya menjadi sinyal positif bagi perekonomian Tanah Air. Jika ditelisik lebih dalam, capaian tersebut diperoleh dari impor yang turun drastis selama pandemi akibat aktivitas industri dalam negeri yang tertekan alih-alih oleh adanya peningkatan ekspor.
Sepanjang Januari-Agustus 2020, total impor Indonesia adalah sebesar US$92,11 miliar atau turun 18,05 persen dibandingkan dengan Januari-Agustus 2019 yang berjumlah US$112,40 miliar, padahal 73,69 persen impor Indonesia adalah bahan baku dan penolong.
Sementara dari segi ekspor, tak ada kenaikan yang berarti. Ekspor Indonesia justru mengalami kontraksi dari US$110,34 miliar menjadi US$103,16 miliar.
Baca Juga
Sebagai negara basis produksi, kondisi perdagangan Indonesia dalam tiga tahun terakhir terbilang tidak terlalu mentereng. Kontribusi ekspor barang dan jasa Indonesia hanya menyumbang 18,48 persen terhadap PDB pada 2019. Jumlah tersebut turun dibandingkan dengan 2018 ketika kontribusi ekspor barang dan jasa berada di angka 20,9 persen.
Namun jumlah tersebut masih jauh tertinggal jika disandingkan dengan negara-negara Asean lain. Negeri tetangga seperti Malaysia misalnya, kontribusi ekspor barang dan jasa terhadap PDB pada 2019 mencapai 65,34 persen. Sementara ekspor barang dan jasa Vietnam menorehkan kontribusi sebesar 106,8 persen.
Akibat buncitnya kontribusi ekspor Indonesia terhadap PDB, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS menjadi fluktuatif kala ekonomi menghadapi ketidakpastian, seperti saat pandemi tahun ini, di tengah terbatasnya pemasukan negara dari ekspor.
Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bidang Hubungan Internasional Shinta Khamdani mengemukakan terbatasnya kontribusi perdagangan luar negeri terhadap PDB merupakan efek dari kompleksnya permasalahan di regulasi nasional yang memengaruhi industrialisasi dan efisiensi perdagangan.
Selain itu, regulasi terkait investasi yang memengaruhi inovasi, nilai tambah dan dan skala produksi barang di Indonesia juga turut memengaruhi hal ini. Kendala tenaga kerja, baik dari kuantitas dan kualitas, yang merupakan penentu produktivitas sektor jasa pun turut menjadi faktor penentu.
“Vietnam dan Malaysia bisa punya persentase yang tinggi karena mereka memang sudah lebih berani dan sudah lebih dulu mengubah regulasi domestiknya agar lebih terbuka terhadap investasi asing dan lebih terbuka untuk perdagangan internasional,” kata Shinta kepada Bisnis, Selasa (15/9/2020).
Shinta mencatat kedua negara tersebut telah bergabung dalam kerja sama perdagangan bebas kawasan (FTA) yang lebih banyak dibandingkan dengan Indonesia. Malaysia dan Vietnam pun tergabung dalam The Comprehensive and Progressive Agreement for Trans-Pacific Partnership (CPTPP), salah satu FTA yang dinilai Shinta paling kompleks dan liberal saat ini.
Keikutsertaan tersebut membuat mereka mengubah banyak regulasi nasional dan lebih berani dibandingkan dengan Indonesia untuk mendorong produktivitas sehingga ekspor barang dan jasa meningkat tajam.
“Mereka bahkan jauh lebih berani untuk menyerap SDM asing dibandingkan dengan Indonesia sehingga memengaruhi kualitas dan produktivitas ekspor di sektor jasa mereka,” lanjut Shinta.
Dia menilai Indonesia harus lebih berani dalam melakukan reformasi kebijakan ekonomi nasional agar dapat menyaingi Vietnam atau Malaysia. Reformasi tersebut diperlukan untuk memengaruhi produktivitas pada barang dan jasa yang diekspor dan memberi kesempatan bagi Indonesia untuk membuka pasar untuk investasi asing dan persaingan dagang dengan negara lain.
“Tanpa reformasi tersebut, produktivitas dan kontribusi ekspor barang dan jasa nasional akan seperti yang ada sekarang. Tidak bisa meningkat secara lebih signifikan, apalagi mengejar ketertinggalan dengan negara tetangga,” kata dia.