Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Blak-blakan Pemerintah soal Tudingan Skor 0 vs 19 Tarif Dagang dengan AS

Pemerintah menegaskan tarif 0% impor AS adalah tren global, bukan ketimpangan. Tarif 19% AS untuk RI lebih baik dibanding negara lain, menjaga industri lokal.
Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Susiwijono Moegiarso menyampaikan sambutan saat acara Bisnis Indonesia Midyear Challenges 2025 yang bertema Memetakan Peluang Dari Volatilitas Perekonomian Global di Jakarta, Selasa (29/7/2025). / Bisnis-Eusebio Chrysnamurti
Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Susiwijono Moegiarso menyampaikan sambutan saat acara Bisnis Indonesia Midyear Challenges 2025 yang bertema Memetakan Peluang Dari Volatilitas Perekonomian Global di Jakarta, Selasa (29/7/2025). / Bisnis-Eusebio Chrysnamurti

Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah menegaskan bahwa kesepakatan perdagangan terbaru antara Indonesia dan Amerika Serikat, yang menetapkan tarif impor barang AS ke Indonesia sebesar 0% sementara barang RI terkena tarif 19% oleh AS, merupakan bagian dari tren global yang tidak bisa dihindari, bukan bentuk ketimpangan perdagangan.

Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Susiwijono Moegiarso menyebut publik sebaiknya tidak melihat angka 0–19 seperti skor pertandingan sepak bola. Pasalnya, skema tarif 0% terhadap produk negara mitra dagang bukanlah hal baru bagi Indonesia.

Dia menjelaskan bahwa dalam kesepakatan dengan AS, pemerintah memang menargetkan 99% produk Amerika akan mendapatkan perlakuan bebas bea masuk. Skema tersebut, sambungnya, selaras dengan kebijakan serupa terhadap produk dari negara-negara mitra dagang lain.

Dia mencontohkan, skema serupa juga sudah ada dalam perjanjian perdagangan bebas (free trade agreement/FTA) dan kerja sama ekonomi komprehensif (CEPA) Indonesia dengan sejumlah negara. Selain itu, dia mencontohkan Uni Eropa, yang terdiri dari 27 negara, juga setuju membebaskan tarif impor untuk barang asal AS.

Oleh sebab itu, anak buah Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto itu menyatakan Indonesia tak sedang 'menjual diri', melainkan mengikuti pola umum kerja sama perdagangan internasional.

“Jadi kalau dipertanyakan kenapa kok jadi 0%? Itu tren skema kerja sama ekonomi perdagangan sekarang itu seperti itu,” ujarnya dalam forum Bisnis Indonesia Midyear Challenges 2025, Selasa (29/7/2025).

Susiwijono juga menekankan bahwa tarif resiprokal 19% yang dikenakan AS kepada produk RI masih lebih baik dibandingkan dengan tarif tinggi yang dikenakan ke negara lain. Dia kembali mencontohkan Uni Eropa.

Uni Eropa setuju membeli produk AS US$750 miliar, investasi US$600 miliar, dan komitmen beli peralatan militer yang belum disebutkan nilainya. Dengan ongkos yang tinggi itu, AS tetap mengenakan tarif 15% untuk produk asal Uni Eropa.

Dia membandingkan AS yang memberikan tarif 19% ke Indonesia. Angka itu didapatkan dengan komitmen membeli barang senilai US$19,5 miliar dari AS, jauh lebih rendah dari komitmen Uni Eropa yang senilai US$750 miliar.

Selain itu, Susiwijono menjelaskan bahwa komitmen impor yang dilakukan Indonesia itu tidak akan membebani APBN karena bersifat business to business atau antara swasta dan BUMN dengan pelaku usaha di AS. Bahkan, dia mengklaim komitmen itu tidak akan memperlebar defisit neraca perdagangan Indonesia.

“Yang kita lakukan 'hanya menggeser', kebutuhan demand [permintaan] kita tetap, tapi yang dulunya dibagi di beberapa negara, kita kumpulin-kumpulin, sebagian kita ambil dari Amerika. Enggak ada yang salah dengan itu,” katanya.

Pemerintah juga menggarisbawahi risiko besar apabila Indonesia gagal mengamankan tarif masuk ke AS. Jika tarif resiprokal tidak dikunci di level 19% maka bea masuk bisa melonjak hingga 50% karena ada tarif Most Favoured Nation (MFN).

Susiwijono menjelaskan bahwa tarif resiprokal AS tidak menghapus kewajiban tarif MFN. Masalahnya, produk-produk padat karya seperti tekstil, garmen, dan alas kaki Indonesia mendapatkan tarif MFN yang tinggi di AS.

“Kalau produk pakaian jadi kita katakanlah bea masuknya 20%, ketambahan 32% [tarif resiprokal], diatas 50% [total kewajiban tarifnya]. Sudah mati saja gitu [industri]. Ada lebih dari 12 juta pekerja padat karya, termasuk 3 juta di sektor tekstil, apparel, dan footwear. Itu bisa berhenti semua kalau tarif makin tinggi,” ujarnya.

Menurut dia, dengan menjaga tarif di level 19%, pemerintah berhasil mengamankan ruang bernapas bagi industri padat karya nasional.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro