Bisnis.com, JAKARTA - PT Tata Metal Lestari mendukung kenaikan kelas Standar Nasional Indonesia (SNI) produk hilir baja dari sukarela menjadi wajib. Perseroan menilai naiknya standar produk hilir baja melalui SNI Wajib secara tidak langsung juga akan mengatur penggunaan bahan baku yang digunakan pabrikan hilir.
Adapun, Tata Metal merupakan pabrikan baja yang mengolah baja canai dingin (cold rolled coil/CRC) menjadi baja lapis seng. Setelah itu, pabrikan kembali mengolah sebagian baja lapis seng tersebut menjadi atap baja maupun profil baja ringan.
"Secara personal, yang perlu dikawal [standarisasinya] itu di produk akhir, seperti genteng metal, dan profil baja ringan. Kalau bahan baku di-SNI-kan, masih bisa diubah produknya. Jadi, saya setuju bahwa ini penting produk hilir dijaga [standarnya]," ujar Vice President Tata Metal Stephanus Koeswandi kepada Bisnis, Senin (14/9/2020).
Sebagai pabrikan, Tata Metal menggunakan seitar 60 persen hasil produksi CRC untuk kembali diolah menjadi atap metal maupun profil baja ringan. Sementara itu, 40 persen lainnya dibagi rata untuk dipasarkan ke industri pengguna lokal dan global.
Adapun, Stephanus menyatakan pihaknya masih mengimpor sebagian kecil BjLas Warna untuk produksi atap ringan warna. Menurutnya, hal tersebut dilakukan lantaran pihaknya belum memproduksi BjLas Warna hingga saat ini.
"Tata Metal belum melakukan pewarnaan, sekarang hanya pelapisan. Nanti, investasi-investasi selanjutnya mudah-mudahan bisa ada [lini produksi] pewarnaan [baja lapis] juga," ujarnya.
Baca Juga
Sementara itu, produksi atap metal mendominasi produksi hilir perseroan hingga 60 persen. Dengan kata lain, produksi profil baja ringan sejauh ini hanya berkontribusi sekitar 40 persen dari total produksi baja hilir perseroan.
Di sisi lain, pembahasan SNI Wajib produk baja hilir yakni baja lapis (BjLas) warna dan profil baja ringan masih berkutat terkait pemilihan standar yang tepat agar industri kecil dan menengah (IKM) hilir baja juga dapat mengikuti standar tersebut. Walhasil, SNI Wajib baja hilir diramalkan tidak dapat terbit tahun ini.
Stephanus yang juga menjabat sebagai Ketua Umum Asosiasi Roll Former Indonesia (ARFI) menyatakan sebagian pabrikan roll former memang masih berkapasitas IKM. Adapun, pabrikan kapasitas IKM yang dimaksud adalah pabrikan yang hanya memiliki 1-2 unit mesin produksi.
Stephanus meminta agar pemangku kepentingan yang sedang menggodok SNI Wajib baja hilir tidak melupakan pelaku IKM hilir baja. Walakin, Stepahnus mengingatkan agar para pelaku IKM tetap menjunjung tinggi produk yang berkualitas dan berstandar sesuai SNI sukarela melainkan mengorbankan dua aspek tersebut karena menggunakan bahan baku yang murah.
"Ini pekerjaan rumah [kami]. Kami [akan] kawal ini semua sampai ke arah yang lebih benar," ujarnya.