Bisnis.com, JAKARTA - Industri migas menjadi salah satu sektor usaha yang memiliki biaya dan risiko yang tinggi. Adaptasi teknologi, hingga pemahaman aspek komersial dalam sebuah proyek menjadi syarat mutlak bagi investor.
Arcandra Tahar, Wakil Menteri ESDM Kabinet Kerja 2016-2019, mengatakan telah banyak kasus di dunia sebuah proyek migas gagal karena tidak mendapatkan hasil sesuai dengan proyeksi di awal.
Dalam unggahan instagram @arcandra.tahar, dia mencontohkan proyek LNG Prelude di Australia yang dikelola konsorsium Shell menghentikan produksinya karena banyak masalah teknis yang belum terselesaikan dengan teknologi offshore LNG dan diperparah dengan adanya Covid-19.
Menurutnya, proyek tersebut merupakan salah satu fasilitas LNG terapung terbesar di dunia dengan nilai investasi yang sangat besar.
"Ketika memulai proyek ini di tahun 2011, biaya proyek Prelude dengan proyeksi produksi LNG 3,6 juta ton per tahun, investasi di Prelude ditaksir butuh biaya antara US$10,8-US$12,6 miliar. Di akhir tahun 2019, investasi proyek Prelude diprediksi telah mencapai US$ 19,3 miliar, 45 persen lebih tinggi dari proyeksi awal," katanya, Rabu (12/8/2020)
Sayangnya, LNG yang berhasil dikirimkan jauh lebih rendah daripada kapasitas terpasangnya. Pengiriman LNG pertama Prelude juga berjarak dua tahun dari rencana awal 2016. Arcandra juga menjelaskan, adanya fluktuasi harga minyak dan konsumsi energi yang menurun akibat Pandemi Covid-19 saat ini, banyak perusahaan migas di seluruh dunia tentu melakukan evaluasi terhadap strategi investasinya.
Baca Juga
"Itu sebabnya, setiap negara harus memiliki strategi yang tepat agar investor migas tetap fokus mengembangkan proyek atau menambah investasinya di negara tersebut. Seperti sistem fiskal yang ada harus menjamin dan memberikan kepastian investasi tanpa harus melakukan negosiasi kontrak kembali," tambahnya.
Menurutnya, investor juga mendapatkan manfaat ketika situasi ekonomi atau harga minyak bergejolak. Sebagai contoh, ketika harga turun, investor bisa mendapatkan bagi hasil yang lebih baik untuk menjaga tingkat keekonomian proyek migas tersebut. Sebaliknya, ketika harga minyak naik, negara yang akan mendapatkan bagi hasil lebih baik.
Gross Split Punya Daya Tarik
Dalam ulasannya, Arcandra pun menyinggung rezim fiskal yang diproduksinya, yakni gross split. Arcandra mengklaim, skema bagi hasil kotor memiliki daya tarik bagi kontraktor migas.
Misalnya, ketika harga minyak turun, kontraktor bisa mendapat tambahan split hingga 7,5 persen dari pendapatan kotor. Kegiatan procurement juga menjadi lebih efisien karena tidak melewati birokrasi yang panjang. Dengan efisiensi yang meningkat diharapkan keuntungan kontraktor akan lebih baik dan mampu bertahan dalam masa krisis seperti saat ini.
"Dengan proses procurement yang lebih singkat, tentu penghematan yang dilakukan akan sangat besar. Bayangkan jika sebelumnya butuh waktu 10-15 tahun dari eksplorasi sampai mulainya produksi, dengan procurement mandiri dalam sistem Gross Split, waktunya bisa dipangkas hingga 2-3 tahun lebih cepat. Sehingga kontraktor bisa menghemat banyak biaya seperti biaya operasional dan menaikkan NPV (Nett Present Value)," katanya.